Sabtu, Jun 04, 2011

Memahami Seni Bersama Freud



Dari mana asalnya daya cipta kreatif-artistik? Bagaimana orang bisa punya fantasi jauh dari realitas yang dinilai tinggi oleh masyarakatnya? Kita bisa belajar dari Sigmund Freud untuk menjawabnya. Saya ajak Anda menyusuri pemikiran dasar Freud terlebih dahulu sebelum kita membahas persoalan seni.

Sekilas Psikoanalis Freud
Bagi Freud, tingkahlaku manusia digerakkan oleh dorongan-dorongan impulsif bawah sadar yang ditransformasi sedemikian rupa menjadi berbagai wujud tingkahlaku, termasuk perilaku artistik. Dorongan-dorongan itu bersumber pada id, bagian kepribadian yang dibawa sejak lahir. Dari id bagian kepribadian lainnya, ego dan superego, terbentuk melengkapi struktur kepribadian. Kepribadian manusia kemudian dipahami sebagai interaksi dinamis antara id, ego dan superego dengan ego sebagai komando yang menjaga keseimbangan strukturnya.
Freud mengembangkan psikoanalisis sebagai kerangka teoritis dan metode  untuk memahami dunia-dalam jiwa manusia, memaparkanya hingga jadi sebuah teori psikologi umum yang menjadi kerangka-pikir untuk menjelaskan tingkahlaku. Psikoanalisis Freud mengambil pandangan biologisme dengan asumsi manusia sebagai makhluk yang digerakkan naluri-naluri dasar. Naluri-naluri itu terkandung dalam id sebagai unsur asli psikis manusia. Freud juga mengasumsikan bahwa dalam psikis manusia, ketidaksadaran (unconsciousness) lebih berperan mempengaruhi tingkah laku dibandingkan kesadaran (consciousness). Id bertempat dalam wilayah ketidaksadaran, oleh karenanya naluri-naluri dasar yang dikandungnya pun bersifat tak sadar.
Awalnya Freud menggambarkan kepribadian manusia ibarat gunung es dengan bagian di atas permukaan laut sebagai wilayah kesadaran dan bagian yang berada di bawah permukaan laut sebagai wilayah ketidaksadaran. Di antara kedua wilayah itu terdapat wilayah prakesadaran (lihat gambar 1). Model topologis itu kemudian diubah menjadi  model struktural. Freud menggambarkan struktur kepribadian sebagai relasi dinamis antara unsur-unsurnya. Pada struktur itu, kepribadian manusia terdiri dari tiga unsur yaitu id, ego dan superego
Model Struktural Kepribadian Manusia menut Freud
Sebagai bawaan biologis, Id mengandung energi yang menggerakkan manusia. Energi itu tampil dalam wujud naluri (instinc) yang diartikan sebagai representasi psikologis dari rangsangan somatis (fisikal). Ada dua naluri yang menurut Freud menggerakkan tingkahlaku, yaitu:
1)      Naluri hidup (Life instinct atau eros) yang mendorong manusia untuk mempertahankan hidup dan keberlangsungan spesiesnya melalui kegiatan makan, minum, seks, menghindari bahaya, dan tingkahlaku lainnya yang bertujuan mendapatkan kenikmatan. Energi yang menggerakkannya adalah libido.
2)      Naluri mati (Death instinc atau thanatos), yaitu dorongan untuk kembali ke masa sebelum kehidupan tempat individu bebas dari kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan mempertahankan hidup. Thanatos mengarahkan manusia menyakiti dan merusak diri sendiri jika arahnya ke dalam diri. Jika diarahkan ke luar diri, naluri ini mengarahkan manusia kepada agresi.
Id diatur oleh prinsip kenikmatan (pleasure principle) yang mendorongnya selalu ingin mendapatkan kenikmatan. Id juga didorong oleh kecenderungan destruktif terhadap hal-hal yang menghambat pencapaian kenikmatan dan penghindaran ketidaknyamanan, termasuk merusak diri sendiri jika terlalu banyak hal menyakitkan dialami dalam kehidupan.  Selain bekerja secara tak sadar, id bersifat impulsif dan selalu ingin terpuaskan. Proses yang berlangsung di dalamnya adalah refleks dan proses primer berupa wish-fulfilment atau berkhayal untuk memenuhi kebutuhan. Setiap kali naluri merangsang tubuh, id secara refleks bereaksi dengan membayangkan objek pemuas kebutuhan untuk meredakan dorongan naluriah itu. Proses primer merupakan dasar bagi fantasi dan kreativitas yang nantinya berperan penting dalam proses kreatif dan artistik.
Untuk mencapai kenikmatan yang kongkret dan mempertahankan eksistensi kepribadian dalam kehidupan nyata, dibentuklah ego yang fungsinya sebagai operator bagi id dalam menyalurkan dorongan-dorongan naluriah yang lebih realistis. Ego memegang fungsi rasional dari kepribadian. Setelah ego, terbentuk lagi satu unsur struktur kepribadian, superego, yang berfungsi sebagai hakim ‘moral’ bagi kepribadian. Superego berisi anjuran-anjuran (termasuk perintah) dan larangan dari orang-orang yang signifan (orang tua) yang terinternalisasi dalam diri individu. Superego dapat dikatakan memegang fungsi etis dari kepribadian.
Pembentukan ego dan superego menyisakan berbagai kecemasan dan ketakutan yang merupakan cikal-bakal dari konflik intrapsikis yang jadi daya gerak kepribadian. Dari sinilah petualangan psikis manusia yang kompleks bermula dan beragam tingkahlaku yang rumit kemudian ditampilkan, termasuk perilaku artistik yang merupakan unsur utama proses penciptaan seni.
Id terus-menerus mendorong manusia untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari kesakitan. Refleks dan proses primer terus terjadi. Setiap kali naluri merangsang, id menggebu-gebu menuntut pemenuhan segera. Namun, tidak setiap dorongan naluriah bisa disalurkan karena ada hambatan atau keterbatasan diri untuk memenuhinya. Id tidak realistik sehingga mengabaikan kenyataan yang ada. Tuntutannya banyak yang tak bisa terlaksana sebab tak masuk akal atau tak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Ego mengenali ketak-masuk-akalan dan ketak-pantasan itu melalui uji realitas dan pertimbangan-pertimbangan rasional-normatif. Ego mengenali bahaya, ketaknyamanan, kemungkinan hukuman dari lingkungan, dan rasa malu yang mengancam diri jika tuntutan id dituruti begitu saja. Di sisi lain, ego juga memahami, tuntutan id adalah kebutuhan yang jika tak dipenuhi mengancam keberadaan diri sebagai makhluk biologis. Kondisi dilematis ini perlu diselesaikan dengan mekanisme-mekanisme khusus. Dari sisi lain, superego yang bekerja dengan prinsip kesempurnaan menuntut ego untuk selalu berbuat sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, menentang impulsivitas dan keprimitifan id.
Ego sebagai pengendali berusaha menyelaraskan tuntutan dari id, superego dan lingkungan. Untuk itu, dikembangkanlah mekanisme pertahanan (defense mechanism) ego yang pada intinya adalah proses-proses yang dijalani ego untuk mempertahankan keberlangsungan kepribadian dengan cara menyeimbangkan berbagai tuntutan yang diajukan kepadanya. Berbeda dengan proses ego lainnya, mekanisme pertahanan ini berciri menyangkal, memalsukan dan mendistorsi realitas. Sifat terpenting dari mekanisme ini adalah berkerjanya secara tak sadar. Berbagai tingkahlaku dihasilkan dari mekanisme pertahanan ego. Penciptaan karya seni adalah salah satu wujudnya yang dominan dalam peradaban manusia.

Seni sebagai Bentuk Mekanisme Pertahanan Ego
Dalam analisisnya terhadap Leonardo da Vinci, Freud pertama kali menjelaskan teorinya tentang penciptaan karya seni. Ia menamai proyek analisis itu patografi (patography) untuk membedakannya dari biografi yang cenderung memaparkan kelebihan dan sifat heroik tokoh yang dianalisis. Patografi hendak menyelidiki, merekonstruksi dan menunjukkan masa lalu tokoh itu, mencakup berbagai represi, kompleks yang mungkin dialami, dan neurosis. Represi adalah penekanan dorongan-dorongan naluriah ke bawah sadar oleh ego. Dorongan-dorongan ini ditekan kembali ke bawah sadar karena dianggap tidak realistik, membahayakan, atau memalukan jika ditampilkan. Kompleks adalah kumpulan ide dan pikiran tak disadari yang terkandung dalam dorongan-dorongan naluriah yang direpresi. Sedangkan neurosis adalah kecemasan-kemasan irasional yang mendominasi dan mempengaruhi tingkah laku.
Selain itu, Freud juga menganalisis kecenderungan sifat kekanak-kanakan dan infantilisme (sisa-sisa krisis di masa bayi) Leonardo. Freud memperlakukan Leonardo seperti ia memperlakukan pasien, menganalisis karya-karyanya dengan pertimbangan psikologis itu. Analisis patrografis ini kemudian menjadi titik berangkat kajian dan kritik seni ala psikoanalisis.
Karya seni dilihat sebagai cara untuk mengungkapkan ekspresi, sekaligus juga untuk meredakan berbagai tekanan psikis. Secara umum seni merupakan proyeksi dari kondisi psikis senimannya, mencakup konflik intrapsikis, kecemasan yang direpresi dan sifat-sifat infantil. Proyeksi merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego untuk mengurangi ketegangan psikis. Orang yang mengalami ketegangan psikis tak tertahankan akan berusaha mengurangi ketegangannya, salah satunya dengan mengalihkan energi yang menekan ke luar dirinya, dengan kata lain ia memproyeksikan apa yang ada di dalam batin ke objek di luar dirinya.
Seniman melakukan proyeksi dengan menyalurkan energi, juga pikiran dan ide-ide yang direpresi, ke karya seni. Freud dan para penerusnya menjadikan analisis terhadap proyeksi ini sebagai dasar dari kajian karya seni. Singkatnya, dorongan-dorongan id yang direpresi oleh ego disalurkan kepada objek artistik. Baik proses penciptaan maupun produk seni mengandung pelampiasan dorongan naluriah yang energinya diambil dari id.

Nilai Arstistik dan Proses Primer
Pendekatan patografis dapat menjelaskan asal-usul daya kreatif; energi yang digunakan untuk berkreasi adalah libido yang bersumber pada id. Namun mengapa penyaluran energi itu menjadi artistik, belum terjelaskan. Ini menjadi persoalan yang dikandung teori seni dengan dasar psikoanalisis. Freud sendiri menganalisis Leonardo da Vinci tidak dalam rangka menilai kadar estetik dari karya-karya seniman jenius ini. Kepentingannya adalah memahami pengaruh psikologis, terutama gangguan-gangguan dalam perkembangan kepribadian, terhadap perilaku kreatif seniman. Menanggapi ini, para penerus Freud menunjukkan bahwa penjelasan tentang kadar estetik tetap dapat dijelaskan menggunakan konsep-konsep Freudian tetapi pengertian estetika yang mereka gunakan tidak sama dengan yang digunakan oleh umumnya ahli estetika.
Kembali kepada teori Freud tentang unsur dan perkembangan kepribadian. Cara kerja id, mencakup refleks dan proses primer, menjadi kunci dari kajian estetika. Daya kreatif dan bakat estetik bersumber dari proses kerja id ini. Sebelum ego terbentuk, bayi menanggapi segala sesuatu yang berkenaan dengannya dengan refleks dan konsep primer. Refleks mengarahkan bayi bereaksi impulsif terhadap rangsangan naluriah. Menangis, sekresi, menyusu dan sebagainya digerakkan oleh refleks. Ketika refleks tidak langsung bersambut dengan pemenuhan kebutuhan, proses primer bekerja. Inti dari proses ini adalah wish-fulfilment, berusaha memenuhi keinginan melalui imajinasi dan khayalan. Bayi membayangkan objek-objek pemenuh kebutuhan. Misalnya, ketika lapar dan haus, bayi membayangkan puting ibu.
Setelah ego terbentuk, bayi mengganti upaya pemenuhan kebutuhan dengan perilaku lain yang diperoleh melalui identifikasi (mencontoh orang tua) dan introjeksi (mengiternalisasi nilai-nilai orang tua). Setelah terbentuk, kemampuan berbahasa juga menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi, proses primer terus berlangsung sebab ini merupakan cara yang pertama dikuasai bayi. Selain itu, banyak pengalaman yang diperoleh bayi sebelum mampu berbahasa tetap bertahan dalam ingatan. Proses ini tetap bekerja selama hidup, terutama ketika orang berhadapan dengan situasi-situasi yang tak terpahamkan oleh bahasa atau yang tidak terkandung dalam perbendaharaan pemahaman masyarakat.
Pengalaman estetik merupakan pengalaman yang tak dapat dijelaskan dengan bahasa. Setiap kali berhadapan dengan pengalaman semacam ini, proses primer bekerja. Mereka yang terbiasa bertemu dengan pengalaman estetik menjadi sensitif terhadapnya dan tetap terbiasa dengan proses primer. Dari sejarah hidup para seniman, dapat kita lacak jejak-jejak pertemuan yang sering dan panjang dengan beragam pengalaman estetik. Di sana juga kita temukan berbagai konflik intrapsikis yang intensif dan tak jarang berbagai pengalaman traumatis. Dari sana kita bisa menemukan sumber kejeniusan estetik dan daya kreasi besar yang dimiliki para artis.
Dalam proses primer, fantasi dominan. Keduanya bekerja dan berkembang di luar kendali masyarakat, juga seringkali di luar kesadaran yang dikendalikan oleh ego. ‘Ketak-terkendalian’ ini yang memungkinkan perilaku yang digerakkan id dengan proses primernya menjadi unik, baru, bahkan aneh menurut kebanyakan orang. Keunikan, kebaruan dan seringkali keanehan inilah yang memberi bobot estetik karya seni. Kreativitas dalam arti kemampuan mencipta hal baru dan estetika sebagai kajian tentang ketergugahan indra memberi harga tinggi kepada hal-hal baru yang punya daya gugah, bahkan daya kejut tinggi. Dihadapkan dengan masyarakat, seniman, analog dengan ego, adalah orang yang dituntut menyiasati hasil proses primer yang tak terkendali untuk mendapat penyalurannya dalam bentuk-bentuk yang diterima oleh masyarakat.
Freud dan pengikutnya dalam analisis mereka memperlihatkan bagaimana konflik-konflik tak sadar dan fantasi terkandung dalam karya seni. Kajian Freud terhadap Leonardo (1910), contohnya, menunjukkan pengaruh pengalaman-pengalaman masa kecil dalam perkembangan psiko-seksualnya. Tak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan di masa kecil, termasuk kebutuhan seksual, dipenuhi dengan perilaku artistiknya. Ini disimpulkan Freud dari potongan-potongan data biografis yang diingat Leonardo dan dua lukisan terkenalnya, The Mona Lisa dan St Anne, St Mary and Jesus.
Dalam eseinya 'Dostoevsky and Parricide' (1928) yang didasari analisis terhadap The Brothers Karamazov dan data tentang pengalaman masa kecil Fyodor Dostoevsky, Freud berusaha menggambarkan kepribadian Sang Penulis yang diperngaruhi oleh penderitaan epilepsinya. Ia juga menunjukkan hubungan antara roman besar itu dengan kebiasaan berjudi dan kecenderungan moralis Dostoevsky. Perpaduan proses primer, pengalaman estetik, pengalaman traumatis yang direpresi dan infantilisme mendorong seniman untuk mencipta karya-karya mereka.
Freud menunjukkan, baik dalam karya Leonardo da Vinci maupun Fyodor Dostoevsky, terkandung tema Oedipus complex, kecintaan anak terhadap ibu yang tertahan penyalurannya oleh kehadiran ayah. Sisa-sisa energi dari Oedipus complex terus bertahan dalam diri para seniman dan disalurkan dalam karya-karya mereka.
Sebelumnya, Freud memaparkan dalam 'Creative Writers and Day-Dreaming' (1908), kecenderungan mengkhayal yang neurotik pada diri seniman. Khayalan itu dikatakan neurotik karena dilakukan secara sering dan intensif. Di sini mengkhayal seperti candu, membuat orang terus-menerus mengkhayal. Khayalan itu oleh para seniman ditunjukkan dan dibagi kepada orang banyak dalam bentuk karya seni. Ada kecenderungan egoistik dan narsistik dalam perilaku artistik, seniman menjadikan dirinya sebagai pusat penciptaan dan perhatian. Ia memamerkan apa yang ia anggap bagus untuk mendapatkan penghargaan dan kecintaan dari para penikmat karyanya.
Pengkhayal cenderung mengabaikan realitas dalam mimpinya dan memberi kewenangan penuh kepada prinsip kenikmatan untuk mengembangkan fantasi dan khayalan. Seniman menunjukkan kecenderungan yang sama dengan pengkhayal, menciptakan dunia fantasi tempat ia dapat memenuhi keinginan tak sadar. Bedanya, seniman mampu menemukan jalan kembali ke realitas lewat karya dan pencapaiannya yang seperti permainan anak-anak yang bisa menjadi pelipur kerinduan bagi orang-orang yang menikmatinya. Dunia luar yang menurut Freud juga dibentuk oleh hasrat kanak-kanak menyambut sang seniman sebagai salah satu pahlawan mereka.
Dalam 'Formulations regarding the Two Principles in Mental Functioning' (1911), Freud memaparkan, seni mempertemukan prinsip kenikmatan dan realitas dalam cara yang tak biasa. Seorang seniman adalah manusia yang menjauh dari realitas karena tidak dapat menerima pemberangusan pemuasan naluriah dan meleluasakan keinginan erotik dan ambisius bermain penuh dalam kehidupan fantasi. Namun seniman dapat kembali ke realitas dari dunia fantasi dengan memanfaatkan bakat artistiknya, mengemas fantasi menjadi kebenaran jenis baru yang diberi nilai tinggi sebagai refleksi berharga oleh masyarakatnya.
Seniman diterima dan dihargai oleh orang-orang lain karena memberikan saluran peredaan ketegangan konflik intrapsikis. Setiap orang punya trauma, siapapun punya sisa-sisa kekecewaan masa kecil yang terus meradang dan menggerogoti jiwa. Seniman dengan karya seninya membantu orang-orang membersihkan sisa-sisa itu

0 komentar:

Catat Ulasan

 
Design by yusup doank | Bloggerized by yusup doank juga | coupon codes