Selasa, Mei 10, 2011

HATI NURANI



A. Pengertian Hati Nurani
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hati nurani diartikan sebagai 1) hati yang telah mendapat cahaya atau terang dari Tuhan, dan 2) perasaan hati yang murni dan sedalam-dalamnya. Sedangkan tuntutan atau larangan yang berasal dari hati nurani disebut suara hati atau kata hati. Frans Magnis Suseno dan K. Berten, menyebut hati nurani tersebut sebagai kesadaran moral.
Hati Nurani muncul apabila harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak dan kebahagiaan manusia. Hati nurani dapat menghayati baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku. Hati nurani memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu kini dan disini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan integritas pribadi dan mengkhianati martabat manusia yang terdalam.
Hati nurani berkaitan erat dengan kenyatan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini, perlu dibedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar, atau merasa sesuatu. Dan pengenalan ini bukan merupakan monopoli manusia. Seekor binatang pun bisa mendengar bunyi atau mencium bau busuk dan karena itu bisa mengenal. Malah ada binatang yang dalam hal pengenalan inderawi lebih unggul dari pada manusia. Tapi hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran, manusia memiliki kesanggupan untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon dari kejauhan, tetapi dia menyadari juga bahwa dialah yang melihatnya. Dalam kebun binatang pernah terdengar seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun bertanya kepada ibunya: “Mami, apakah gajah ini tahu bahwa dia seekor gajah?” Tanpa disadarinya, dengan itu dia mengemukakan suatu pertanyaan filosofis yang amat mendalam artinya. Kepada filsuf ini harus dijawab: “Gajah tidak tahu”. Seekor binatang tidak berpikir atau berefleksi tentang dirinya sendiri. Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia bisa berlangsung semacam “penggandaan”: dia bisa kembali kepada dirinya. Da bisa mengambil dirinya sendiri sebagai objek pengenalannya. Jadi penggandaan di sini ialah bahwa dalam proses pengenalan bukan saja manusia berperan sebagai subjek, melainkan juga sebagai objek
Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saja saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri saya sendiri sebagai subjek yang melihat. Nah kata conscientia yang sama dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tetapi ada juga yang turut yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral tersebut. Dalam diri manusia, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan moral yang dilakukannya. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral manusia. Kenyatan itu diungkapkan dengan baik melalui kata Latin conscientia.
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai realitas. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup manusia. Karena itu, pengalaman tentang hati nurani itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.

B. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati Nurani dapat dibedakan dua bentuk, yaitu: hati nurani retrospektif dan prospektif. Untuk memahami keduanya, akan dijelaskan beberapa contoh:
1. Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara di pengadilan. Namun karena ada tawaran sejumlah uang yang cukup banyak dari pihak terdakwa, si hakim membebaskan terdakwa tidak bersalah. Dan dengan uang tersebut di hakim dapat menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah mewah yang selama ini diidamkannya. Namun karena itu, dia tidak bahagia dan merasa bersalah. Dalam batinnya selalu gelisah atas apa yang telah dilakukannya, walaupun yang lain tidak mengetahuinya. Dia malu dan muak terhadap dirinya sendiri.
2. Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun dia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya sehingga dia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu, khususnya setelah dia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini; “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang“. Baru pada saat itu dia menyadarinya. Dia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiaannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Akhirnya Grissom memutuskan tidak bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir itu. Dia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di Labolatorium Nasional.
3. Dalam kisah Mahabharata (Bhagavad Gita) diceritakan tentang konflik batin yang berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi setibanya di tempat tujuan dia melihat sanak saudara, guru-guru, dan sahabat-sahabat di antara tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu, “rasa sedih dan putus asa memenuhi hatinya”. Dia tidak tega berperang melawan kerabat dan orang-orang yang akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuuh mereka, sekalipun saya sendiri akan dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan dia sendiri rebah dalam kereta, hatinya dilimpahi keputusasaan dan kesedihan. Usaha Khrisna untuk membesarkan hatinya tidak sedikit pun dapat mengubah sikapnya. “setelah mereka mati, masakan kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan ia putuskan: “Saya tidak akan berperang, Khrisna”
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lalu. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik. Contoh kesatu, menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek; dan sebaliknya, memuji atau meberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin manusia tentang perbuatan yang telah dilakukannya.
Bila hati nurani menghukum dan menuduh dirinya, dia merasa gelisah dalam batin atau seperti dikatakan dalam bahasa Inggris, a bad conscience. Sebaliknya, bila telah bertingkah laku baik, a good conscience atau a clear conscience. Misalnya, bila saya tanpa pamrih telah menyelamtakan seorang anak yang terjerumus dalam sungai, bahkan dengan mengambil risiko untuk kehidupan saya sendiri, saya merasa puas. Bukan saja karena usaha yang penuh resiko itu berhasil, melainkan juga karena telah saya lakukan yang harus saya lakukan. Saya telah memenuhi kewajiban saya. Karena itu hati nurani saya dalam keadaan tenang dan puas. Saya mengalami suatu kedamaian batin.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan manusia yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak manusia untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negative lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukumnya, andaikata melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika perbuatn menjadi kenyataan. Contoh ketiga tentang Arjuna biarpun istilah “hati nurani” dalam Bhagavad tidak disebutkan eksplisit menunjukkan hati nurani prospektif. Sedangkan contoh kedua tentang ahli fisika Amerika memberikan semacam campuran antara hati nurani prospektif dan retrospektif. Tadinya Grissom tidak pikirkan bahwa pekerjaannya sebenarnya immoral, tapi ketika dia menyadari, dia merasa dihukum oleh hati nuraninya tentang pekerjaannya dan dia tidak tega melanjutkannya. Pada saat dia menyadari, hati nurani menyangkut masa lampau maupun masa depan.

C. Hati Nurani Bersifat Personal dan Adipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, ia selalu berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang diterima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadinya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nuraninya. Seperti perkataan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, begitu pula tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadiannya. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadiannya; sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nuraninya pun bercorak lain dibandingkan ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama pribadinya. Hati nurani hanya memberi penilaiannya tentang perbuatannya sendiri.
Di samping aspek personal, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat pribadi, hati nurani juga seolah-olah melebihi pribadinya sendiri, seolah-olah meruapkan instansi di atas dirinya. Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani” itu sendiri. “Hati nurani” berarti “hati yang diterangi” (nur = cahaya). Dalam pengalaman mengenai hati nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hatinya. Aspek yang sama tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan hati nurani; suara hati, kata hati, suara batin. Rupanya justru aspek ini sangat mengesankan, hingga terungkap dalam begitu banyak nama. Terhadap hati nurani, manusia seakan-akan menjadi “pendengar”. Manusia seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai suatu aspek transenden, artinya, melebihi pribadinya sendiri.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya, kalau ia senggguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya “di hadapan Tuhan”. Ia insyaf dengan itu akan mentaati kehendak Tuhan. Dan sebaliknya, bertindak bertentangan dengan hati nurani tidak saja berarti menghianati dirinya sendiri, tapi serentak juga melanggar kehendak Tuhan
Hati Nurani adipersonal bersifat universal, Ary Ginanjar Agustian menyebutnya sebagai anggukan universal. Dalam keadaan fitrah (suci), tanpa melihat latar belakang agama, suku, bangsa, bahasa, atau status soaial semua orang akan memberikan jawaban yang sama atas pertanyaan yang diajukan dan dijawab oleh hati nurani adi personal.
Saya ingin mengajak Anda meluangkan waktu sejenak menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah, dengan suara hati yang berasal dari hati nurani adipersonal:
1. Anda sedang makan di pinggir jalan, tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil berusia lima tahun berdiri tepat di depan Anda, menatap makanan yang anda pegang dengan penuh harap, suara hati apa yang muncul pada saat itu?
2. Bayangkan, pada saat Anda sedang berjalan sendiri di tengah taman, di suatu kota. Melihat sebuah keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anaknya yang masih sangat kecil dan lucu sedang bercengkrama dengan riang gembira. Suara hati apa yang hadir saat itu?
3. Coba bayangkan situasi ini! Salah seorang teman sekantor Anda dikirim oleh perusahaan untuk mengikuti training manajemen selama dua minggu, sementara Anda sendiri tidak diplih. Apa yang Anda rasakan?
4. Kemudian setelah satu minggu, dia pulang ke kantor dengan wajah berseri-seri, dengan menunjukan sertifikatnya kepada Anda, suara hati apa yang timbul?
5. Anda sedang berada di suatu ruangan yang bersih dengan lantai marmer berkilat. Tiba-tiba Anda melihat sebuah kertas kotor di dekat kaki Anda, suara hati apa yang Anda rasakan?
6. Kemudian ada seseorang yang membuang putung rokok sesenaknya di sana. Suara hati apa yang timbul di hati Anda?
7. Di dalam suatu perjalanan, anda melihat seorang pemuda sedang berusaha menjambret tas wanita tua. Perasaan apa yang muncul saat itu?
8. Namun ketika anda sadari bahwa penjambret tersebut membawa sepucuk pistol, apa yang Anda rasakan?
9. Anda sedang berada di tengah kebun hijau, tiba-tiba melihat sekuntum bunga berwarna merah, jingga. dan ungu. Apa yang anda rasakan?
10. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang memetik bunga itu dengan kasar, apa yang Anda rasakan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya adalah salah satu materi dalam sebuah perlombaan pidato internasional yang pernah diadakan di Bali tahun 1999. Saat itu, para juri internasioanl dan peserta terlihat mengangguk-angguk tanpa sadar. Begitu pula jawaban-jawaban yang anda rasakan itu akan sama di seluruh dunia. Apakah dia seorang kaya, miskin, ras apa saja, agama apa saja, berbagai suku apa pun namanya, akan merasakan suara hati yang sama, apabila dalam kondisi fitrah.
Berikut saya kemukakan jawaban-jawaban suara hati itu:
1. Suara hati yang mendorong “ingin memberi” tatkala Anda sedang makan makanan tersebut.
2. Suara hati dari “rasa kasih dan sayang” ketika menangkap rona kebahagian dan kasih sayang di wajah mereka.
3. Suara hati mengatakan bahwa Anda “ingin juga maju” sehingga ingin mengikuti training tersebut.
4. Suara hati yang mengatakan bahwa Anda juga ingin mengetahui “ilmu” tersebut. Anda juga ingin mengetahui materi training tersebut.
5. Suara hati “ingin bersih”sehingga Anda mersaa “perlu” memungut sampah itu.
6. Dorongan suara hati untuk “memelihara” sehingga Anda merasa harus melarang orang tersebut membuang puntung rokok atau memungut dan membuangnya ke bak sampah.
7. Dorongan suara hati untuk “menolong” wanitu tua tersebut.
8. Suara hati untuk menolong sekaligus “berhitung” ketika anda harus berfikir dua kali untuk menolong wanita tua itu.
9. Karunia hati yang bisa merasakan “keindahan ketika Anda melihat bunga yang berwarna–warni itu.
10. Suara hati yang menyuruh Anda untuk “memelihara” dan ”melindungi” bunga indah tersebut.
Jawaban-jawaban dari suara hati tersebut adalah sama persis dengan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Quran yang disebut dengan al-Asmaa’ al-Husna (Nama-nama Yang Baik), seperti Maha Penolong, Maha Pengasih dan Penyayanng, Maha Ilmu, Maha Tahu, Maha suci, Maha memelihat, Maha Berhitung, dan Maha Melindungi. Kitab al-Qur’an menjelaskan: “Kemudian Dia memberi bentuk (dengan perbandingan ukuran yan baik) dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya…”. (QS As-Sajdah/ :9) Artinya sifat-sifat mulia tersebut juga ditiupkan juga ke dalam jiwa manusia. Maksud contoh-contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa manusia sebenarnya memilki suara hati yang sama. Itulah disebut God-Spot atau Fitrah.

D. Peranan Suara Hati
Ada tiga unsur yang memberikan norma-norma kepada manusia, yaitu: masyarakat, superego, dan ideologi.

1. Masyarakat
Lembaga yang pertama adalah masyarakat, yakni semua komponen yang ada dalam masyarakat, yaitu individu, kelompok, lembaga, dan yang lainnya yang memberi pengaruh pada hidup manusia. Contoh: orang tua, sekolah, tempat kerja, negara, dan agama. Orang tua mengajarkan nilai-nilai dasar, seperti: apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik, bagaimana cara bergaul dengan orang lain, dan nilai-nilai penting lainnya bagi kehidupan. Sekolah mendidik dan mengajarkan tentang kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, dan sebagainya. Tempat kerja mengajarkan tentang kesetiaan, ketaatan pada pimpinan, tanggung jawab, dan sebagainya. Negara menetapkan norma-norma hukum dan peraturan yang perlu ditaati oleh warga negara, dan sebagainya. Agama mengajarkan keimanan dan kepercayaan pada pemeluknya.
Di samping itu masih ada juga pihak lain (kelompok informal seperti: kelompok sebaya dan teman-teman akrab) yang juga mengajarkan tentang bagaimana sebaiknya bersikap dan bertindak dalam menjalani kehidupan. Jadi, masyarakat dengan berbagai lembaga yang ada di dalamnya merupakan sumber orientasi moral pertama bagi manusia.

2. Superego
Superego adalah cabang moral atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego lebih mewakili alam ideal daripada alam nyata, dan superego itu menuju arah kesempurnaan daripada kearah kenyataan atau kesenangan. Superego berkembang dari ego sebagai akibat dari perpaduan yang dialami seorang anak dari ukuran-ukuran orang tuanya mengenai apa yang baik dan salah, apa yang buruk dan bathil. Dengan memperpadukan kewibawaan moral, anak itu mengganti kewibawaan mereka dengan kewibawaan batinnya sendiri. Dengan menuangakan kekuasaan orang tuanya dalam batinnya, anak itu dapat menguasai kelakuannya sesuai dengan keinginan mereka, dan dengan bertindak sedemikian itu mendapat persetujuan dan mencegah kegusaran mereka. Dengan kata lain, anak itu belajar, bahwa dia bukan saja harus tunduk kepada prinsip kenyatan untuk mendapat kesenangan dan mencegah kesakitan, tetapi ia juga harus mencoba berkelakuan sesuai dengan perintah-perintah moral dari orang tuanya. Masa yang agak panjang di mana seorang anak bergantung kepada orang tuanya membantu pembentukan superego.
Superego adalah perasaan moral spontan. Superego menyatakan diri dalam wujud perasaan malu dan bersalah yang muncul secara otomatis dalam diri manusia apabila melanggar norma-norma yang diinternalisasikan ke dalam dirinya. Perasan-perasaan tersebut tetap saja akan muncul meskipun tidak ada orang lain yang menyaksikan pelanggaran yang kita lakukan.

3. Ideologi
Ideologi adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang nilai-nilai dasar tentang bagaimana manusia hidup serta bertindak. Kekuatan ideology terletak pada cengkeramannya terhadap hati dan akal kita. Merangkul sebuah ideology berarti meyakini apa saja yang termuat di dalamnya dan bersedia untuk melaksanakannya. Ideologi menuntut agar orang mengesampingkan penilaiannya sendiri dan bertindak sesuai dengan ajaran ideology tersebut.
Selama manusia tidak mengalami atau mengahadapi masalah-masalah moral yang rumit, manusia dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini manusia dibimbing oleh superego. Namun bila berhadapan dengan persoalan moral yang kompleks, tiga lembaga normative tersebut tidak akan dapat diandalkan lagi. Di sinilah tiga lembaga normative menemukan batas wewenangnya. Manusia sendirilah yang akhirnya harus membentuk penilaian moralnya: apakah sekedar mengikuti tuntutan tiga lembaga normative yang ada atau justru memilih yang lain. Dalam situasi seperti inilah suara hati memunculkan diri.
Seperti: Suara hati merupakan kesadaran moral manusia dalam situasi konkrit. Di dalam pusat kepribadian manusia, dia menyadari apa yang sebenarnya dituntut dari dirinya. Meskipun ada banyak pihak yang menyatakan kepadanya tentang apa yang wajib dilakukan, namun di dalam hati manusia sadar bahwa akhirnya hanya dirinyalah yang tahu tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Manusia berhak dan wajib untuk hidup sesuai dengan apa yang disadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Bila secara jujur setuju dengan pendapat moral lingkungan, maka suara hati tidak akan tampak menyolok. Tapi bila hati manusia tidak dapat menyetujui sikap yang diambil oleh para panutan di sekitarnya, maka suara hati akan menyatakan diri secara tegas. Suara hati akan menyatakan diri ketika tiga lembaga normative sudah tidak mampu lagi menjawab yang memadai terhadap peroalan moral kompleks yang dialaminya.
Adapun Poedjawijanto berpendapat bahwa hati nurani memiliki beberapa peran dan bertindak sebagai berikut:
1. Index atau petunjuk; memberi petunjuk tentang baik buruknya sesuatu tindakan yang mungkin akan dilakukan seseorang.
2. Iudex atau hakim; sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik buruknya tindakan.
3. Vindex atau penghukum; jika ternyata itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan berulangkali bahwa buruklah itu.
Sedangkan Notonogoro berpendapat bahwa hati nurani memiliki beberapa peran dan bertindak sebagai berikut:
1. Sebelum; sebelum melakukan tindakan, hati nurani sudah memutuskan satu di antara empat hal, yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau membiarkan.
2. Sesudah; sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila tidak bermoral dicela, atau dihukum.
Suara hati mutlak perlu diikuti. Menurut Immanuel Kant, “Tuntutan suara hatui bersifat mutlak”. Tuntutan moral itu berlaku mutlak atau absolute, tidak bersyarat. Jadi apa yang sudah disadari melalui suara hati sebagai kewajiban, maka harus dilakukan. Kemutlakan tuntutan suara hati ini tidak lantas berarti bahwa suara hati pasti benar. Suara hati itu berdasar pada penilaian-penilaian manusia, padahal penilaian manusia itu tidak pernah pasti seratus persen. Pengertian kita pada hakikatnya terbatas, sering kurang lengkap, kadang berat sebelah atau salah. Bila pengertian kita memberi masukan yang salah kepada suara hati, maka suara hati akan menuntut sikap secara objektif tidak tepat. Jelaslah bahwa yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutan untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang disadari sebagai kewajiban. Tuntutan suara hati tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-pertimbangan untung rugi, senang tidak senang, oleh pendapat orang lain, perintah berbagai otoritas, dan tuntutuan ideology maupun perasaan kita sendiri. Suara hati menuntut untuk selalu bertindak dengan baik, jujur, wajar dan adil, apa pun biayanya dan apa pun pendapat lembaga-lembaga normative yang ada.
Manusia memang harus bertindak menurut keyakinan hatinya, tetapi itu tidak membebaskan manusia dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan mengapa sampai pada keyakinan tersebut. Suara hati merupakan fakta bahwa manusia berkeyakinan demikian, tetapi tidak menjelaskan mengapa berkeyakinan demikian itu. Memepertanggung jawabkan suara hati berarti bahwa manusia menjelaskan mengapa dalam hatinya berpendapat (berkeyakinan) demikian.
Bagaimana bila suara hati manusia ragu-ragu? Meskipun masih ragu-ragu bila pengambilan keputusan tidak dapat ditunda lagi, maka dia hendaknya berani untuk mengambil keputusan. Kalau memang tetap tidak jelas mana yang lebih baik dan mana yang lebih merugikan (secara moral), maka dia bebas untuk memilih salah satu di antara kemungkinan yang tersedia. Namun dia perlu menyadari sepenuhnya bahwa ada kemungkinan keputusan tersebut kurang baik. Dalam waktu bersamaan dia juga siap sedia untuk mengambil tindakan perbaikan bila ternyata keputusan tersebut membawa akibat negative (buruk).

E. Cara Membina Hati Nurani
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh manusia dalam membina hati nurani, agar dia bersuara sebagaimana mestinya. Adapun cara-caranya sebagai berikut:

1. Memberikan Pendidikan pada Hati Nurani
Pendidikan itu bersifat informal dimana anak dididik untuk bertindak sesuai dengan moral yang berlaku di masyarakat. Pendidikan moral yang dilakukan sejak dini dalam keluarga dibutuhkan untuk memberikan dasar ataupun gambaran bagi anak untuk bertindak baik, sehingga sejak kecil hati nurani dapat membedakan perbuatan baik ataupun perbuatan buruk.
Contoh: Pemberian didikan untuk tidak berbohong, diberikan sejak kecil agar anak mengerti bahwa berbohong merupakan perbuatan yang tidak baik. Tanpa adanya didikan ini, anak tidak akan mengetahui bahwa berbohong merupakan perbuatan yang buruk sehingga dia melakukan tindakan berbohong tanpa ada rasa bersalah. Tidak adanya rasa bersalah atas perbuatan yang buruk akan mengakibatkan tumpul dan matinya hati nurani.

2. Menerapkan Pengajaran
Agama memberikan ajaran moral serta prinsip-prinsip etis dalam kehidupan manusia. Adanya ajaran ini memberikan kecakapan teoritis serta perintah lagsung atas suatu tindakan yang hendak diambil.
Contoh: Ajaran agama meberikan kecakapan teoritis bahwa perbuatan mencuri dilarang oleh ajaran agama, dengan demikian perintah langsung yang diberikan adalah “jangan mencuri”!. Kecakapan teoritis ini memberi tahu hati nurani bahwa mencuri itu melanggar aturan agama, sehingga hati nurani bertindak sebagai alat yang mendorong manusia untuk tidak melakukan pencurian meskipun tidak ada orang lain yang mengetahuinya, karena di sini hati nurani juga bertindak sebagai “saksi” atas perbuatan-perbuatan manusia.

3. Memberikan Filterasi terhadap Budaya
Sifat etiket yang relative dan bergantung pada budaya menuntut manusia untuk melakukan filtrasi terhadap budaya asing yang hendak masuk dalam suatu lingkup masyarakat agar budaya asing yang masuk tidak bertentangan dengan budaya local yang telah ada.
Contoh: Filtrasi terhadap budaya sex bebas dibutuhkan untuk mencegah rusaknya moral manusia serta budaya timur yang menganggap sex bebas sebagi hal yang tabu. Tanpa adanya filtrasi budaya hati nurani akan menganggap sex bebas sebagai hal biasa dan dapat berakibat pada disfungsi hati nurani dimana hati nurani tidak lagi memberikan teguran saat seseorang bertindak demikian.


4. Menerapkan Tradisi
Moral manusia juga dipengaruhi oleh ajaran tradisi yang berlaku dalam keluarga maupun masyarakat Karenanya dibutuhkan penerapan serta pemeliharaan tradisi yang baik bagi perkembangan moral manusia.
Contoh: Tradisi membrikan salam bagi orang yang dihormati perlu dipelihara dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Tradisi yang diterapkan sejak dini akan menuntut seseorang untuk melakukan tindakan ini, dan akan memberikan penyesalan apabila seseorang tidak melakukannya Dorongan seta rasa penyesalan inilah yang diberikan oleh hati nurani sebagai impact dari pemeliharaan tradisi yang dianggap baik oleh hati nurani.

5. Melakukan Pembelajaran Etis
Pengajaran yang diberikan oleh pakar bukanlah pengajaran moral melainkan pengajaran etika, karena pembentukan moral telah selesai pada tahu-tahun pertama hidup kita. Meski demikan pengajarn etika yang diberikan telah disesuaikan dengan moral masyarakat, karenanya tetap dibutuhkan pembinaan terhadapnya.
Contoh: Pendidikan etika yang diberikan dalam perkuliahan dibutuhkan untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Pengetahuan ini kemudian dimiliki oleh hati nurani dan dapat digunakan sebagai dasar penilaian dan pengmbilan keputusan agar sesuai dengan etika dan moral masyarakat. Masih ada banak cara yang dapat dilakukan dalam proses pembinaan hati nurani. Pengelolaan yang benar dan tepat dilakukan agar moral manusia tetap terjaga. Pada akhirnya pembinaan hati nurani perlu dilakukan sepanjang hidup manusia untuk menuntun langkah manusia menjadi lebih.

6. Memahami Kebudayaan Malu dan Kebudayaan Kebersalahan
Antropologi budaya membedakan dua macam kebudayaan shame culture (kebudayaan malu) dan guilt culture (kebudayaan kebersalahan). Kebudayaan malu seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa bersalah. Kebudayan kebersalahan terdapat rasa bersalah. Shame culture adalah kebudayan dimana pengertian-pengertian seperti “hormat, reputasi, nama baik, status, dan gengsi” sangat ditekankan.
Bila orang melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap penting, tetapi yang penting adalah bahwa perbuatan jahat tidak akan diketahui, jika perbuatan jahat diketahui, pelakunya menjadi “malu”. Dalam shame culture sanksinya datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan atau dikataka oleh orang lain Dalam shame culture tidak ada hati nurani.
Guilt culture adalah kebudayaan dimana pengertian-pengertian seperti “sin” (dosa), “guilt” (kebersalahan), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kesalahan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga. Ia menyesal dan merasa tidak tenang karena perbuatan itu sendiri, bukan karena sicela atau dikutuk orang lain. Jadi bukan karena tanggapan pihak luar, melainkan dari dalam, dari batin orang bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang peranan sangat penting.

7. Berlatih Mendengarkan Hati Nurani
Adakalanya hati nurani kita tutupi. Suara hati tidak akan keluar jika hati nurani dalam keadaan kotor (tertutup oleh dosa) Dalam kadaan yang demikian yang keluar bukanlah suara hati melainkan emosi. Akan tetapi melalui latihan dan pembuktian kita dapat membedakan suara-suara yang berasal dari dalam diri kita. Latihan untuk mendengarkan suara hati dapat dilakukan dengan cara menenangkan pikiran terlebih dahulu (tidak tergesa-gesa) dan merasakan apa yang ada dalam benak kita yang paling dalam.

F. Mengembalikan Hati Nurani ke Fitrah
Selain cara-cara di atas, Ary Ginanjar Agustian menjelaskan tentang tata cara membina hati nurani dengan cara di kembalikan lagi ke fitrahnya,yaitu dengan menghilangkan segala macam belenggu yang selama ini menghalangi hati nurani bersuara sebagaimana mestinya. Ada beberapa hal yang membuat hati nurani terbelenggu, yaitu: prasangka, prinsip-rinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding, dan literature.

1. Prasangka
Untuk memahami bahwa prasangka seringkali membelenggu hati nurani manusia, di sini akan dijelaskan beberapa sebuah contoh:
Pada suatu pagi, ketika diadakan rapat antar departemen di sebuah perusahaan. Peserta rapat sedang membicarakan hasil evaluasi rutin bulanan. Salah seorang tiba-tiba menguap di tengah rapat yang sedang beralangsung serius. Peserta lain spontan menoleh kearahnya. Atasannya yang juga ikut rapat, menggelengkan kepalanya. Sang Bos, yang merangkap sebagai pimpinan rapat, langsung menegur karyawan yang menguap tadi, “Saya kecewa sekali dengan anda, anda tampaknya tidak peduli dengan rapat yang serius ini!” Karyawan itu lngsung tertunduk. Wajahnya pucat. Dia berkata lirih, “Maaf, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya seharusnya tidak bisa ikut rapat ini. Tetapi mengingat rapat ini sengatlah penting, saya mencoba hadir.” Matanya berkaca-kaca, “Anak saya tadi malam mengalami kecelakaan. Saat ini ia sedang di rawat, di ICU, rumah sakit dalam keadan tidak sadar. Jadi tadi malam, saya tidak bisa tidur.” Semua peserta rapat langsung tertunduk. Mereka terjerumus pada prasangka, paradigma, atau belenggu pikiran, yang menganggap, jika ada orang menguap di tengah rapat diartikan orang tersebut “tidak antusias”. Sebuah prasangka negative.
Rapat kemudian dilanjutkan, kali ini materinya membahas proses produksi dan pelayanan yang lambat. Tidak sesuai dengan target yang telah ditentukan.Hal ini mengakibatkan banyak komplain dari pelanggan. Pada saat rapat berlangsung, terlihat dua kubu yang bertentangan. Kubu departemen keuangan melawan departemen operasional. Kubu keuangan menganggap bagian operasional hanya menghabiskan biaya saja. Sedangkan bagian operasional menganggap bahwa bagian keuangan tidak tahu menahu operasional perusahaan. Hal ini memang tidak dikemukakan di tengah rapat terebut. Tetapi bahasa negative yang tidak terucap terasa kental di sana. Hal tersebut pernah pula mereka ungkapkan secara tidak sadar di luar rapat. Mereka terperangkap dengan prasangka negatifnya masing-masing. Akibatnya mereka saling menahan informasi penting, bersikap defensive, tidak mau membantu, dan kemampuan terbaik mereka menjadi tidak muncul. hal ini telah merugikan semua pihak. Khususnya perusahan. Selama ini hubungan antar departemen pada perusahan itu dibuat berdasarkan suatu standart perating procedure baku dan kaku. Tidak ada landasan hubungan saling percaya. Inilah masalah utama yang mengakibatkan turunnya kinerja perusahaan. Akibatnya hilang kepercayan pelanggan.
Tindakan seseorang sangat bergantung dengan alam pikikirannya masing-masing. Setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih responya sendiri-sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas sikap yang ditimbulkan dari pikirannya sendiri. Andalah “raja” dari pikiran anda sendiri. Bukan lingkungan di sekeliling anda. Namun lingkungan ikut serta berperan dalam mempengaruhi cara berpikir seseorang. Apabila lingkungannya pahit maka ia pun ikut menjadi pahit, selalu curiga, dan seringkali berprasangka negatif kepada orang lain. Pikiran negative ini semakin bertambah dan kian menguat ketika system informasi semakin maju. Dan media informasi seperti televisi, majalah, dan koran terus “membombardir” pikirannya dengan berita-berita pembunuhan, penipuan, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Akhirnya ia pun terpengaruh, ia menjadi selalu berprasangka negative dan curiga kepada orang lain. Prasangka negative ini mengakibatkan orang menjadi bersifat “defensif” dan tertutup, karena beranggapan bahwa orang lain musuh berbahaya. Cenderung menahan informasi dan tidak mau bekerja sama. Akibatnya justru ia sendiri yang akan mengalami kerugian, seperti turunnya kinerja, tidak mampu melakukan sinergi dengan orang lain, peluang-peluang emas yang terlewatkan, atau bahkan tersingkir di tengah pergaulan sosialnya. Baginya orang lain adalah musuh berbahaya. Padahal sebenarnya “pikirannyalah” musuh yang lebih berbahaya.
Sebaliknya, orang yang memiliki “prinsip” akan lebih mampu melindungi pikiranya. Ia mampu memilih respon positif di tengah lingungan paling buruk sekalipun. Ia akan tetap berpikr positif dan selalu berprasangka baik pada orang lain. Ia mendorong dan menciptakan kondisi lingkungannya untuk saling percaya, saling mendukung, bersikap terbuka dan kooperatif. Hasilnya adalah sebuah “aliansi cerdas”yang akan menciptakan performa puncak. Dia-lah raja dari pikirannya sendiri.

2. Prinsip–prinsip Hidup
Beberapa dekade ini kita telah melihat berbagai prinsip hidup yang menghasilkan berbagai tindakan manusia yang begitu beragam. Prinsip hidup yang dianut dan diyakini itu menciptakan berbagai tipe pemikiran dengan tujuannya masing-masing. Setiap orang terbentuk sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Hasilnya bisa dianggap hebat, mengerikan, bahkan menyedihkan.
Paham Peter Drucker dalam bukunya “Management by Objective” ternyata hanya menghasilkan budak-budah materialis di bidang ekonomi, efisiensi, dan teknologi, tetapi hatinya kekeringan dan tidak memiliki ketentraman batin, ada sesuatu yang hilang. Lalu muncullah aliran Thaoisme yang mengagungkan ketentraman dan keseimbangan batin, tetapi menghasilkan manusia-manusia yang lari dari tanggung jawab ekonomi. Pemikiran Dale Carnagie, yang sangat mementngkan arti sebuah “penghargaan”, begitu mempengaruhi jutaan orang di dunia dalam bertingkah laku, namun masih belum menyentuh sisi terdalam dari inti pemikiran, dan hasilnya adalah mendewakan penghargaan.
“Yang penting penampilan”, merupakan prinsip yang telah berhasil membelokkan pemikiran bangsa ini menjadi bangsa yang konsumtif dan mendewakan penampilan luar, tanpa memperhatikan sisi terdalam manusia yaitu hati nurani. Generasi muda sekarang begitu bangga akan pakaian dengan merk-merk mahal dan ternama. Dan lebih parah lagi, selalu menilai seseorang dari merk yang dipakainya. Dengan kata lain, hanya menilai dari symbol dan status sosialnya.
Prinsip-prinsip yang tidak fitrah umumnya akan berakhir dengan kegagalan, baik kegagalan lahiriah ataupun kegagalan batiniah. Dunia telah membuktikan bahwa prinsip yang tidak sesuai dengan suara hati atau mengabaikan hati nurani seperti contoh di atas, terbukti hanya mengakibatkan kesengsaraan atau bahkan kehancuran.
Prinsip-prinsip buatan manusia itu sebenarnya adalah suatu upaya pencarian dan coba-coba manusia untuk menemukan arti hidup yang sebenarnya. Mereka umumnya hanya memandang suatu tujuan dari sebelah sisi saja dan tidak menyeluruh, sehingga akhirnya menciptakan suatu ketidakseimbangan, meskipun pada akhirnya keseimbangan alam telah terbukti menghempaskan mereka kembali. Mereka biasanya merasa paling benar, tanpa menyadari bahwa sisi lain dari lingkungannya yang juga memiliki prinsip yang akan berbeda dengan dirinya. Hanya berprinsip pada sesuatu yang abadilah yang akan mampu membawa manusia ke arah kebahagiaan hakiki. Berprinsip dan berpegang pada sesuatu yang lebih labil niscaya akan menghasilkan sesuatu yang labil pula.

3. Pengalaman
Yani adalah seorang gadis asal Surabaya. Pada saat kuliah dia bertunangan denagn Rudy calon suaminya. Suatu saat dia melihat dan mengetahui tunangannya berhubungan dengan wanita lain, akhirnya Yani memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rudy. Dua tahun kemudian Yani berkenalan dengan Andi, hubungannya semakin akrab, sehingga Yani berkesimpulan bahwa Andi akan menjadi suaminya kelak. Tetapi pengalaman terulang kembali, andi menikah dengan gadis lain. Sampai saat ini Yani sudah 50 tahun dan masih gadis. Dia tidak mau lagi berhubungan dengan pria manapun karena Yani berkeyakinan bahwa semua pria adalah sama seperti Andi atau Rudy.
Pemikiran seperti ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi sehingga ia tidak bisa lagi melihat dan menilai sesuatu secara objektif, apabila pengalaman atau budaya tersebut dimiliki secara kolektif, maka sesuatu pemikiran akan menjadi suatu paham.
Pengalaman kehidupan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, yang berakibatpada terciptanya sosok manusia hasil pembentukan lingkungan sosialnya. Bisa dibayangkan apabila dia berada pada lingkungan social yang buruk, maka ia pun akan menjadi seseorang seperti lingkungannya itu. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dengan kasih sayang (acceptance) dan keakraban dalam lingkungan keluarga dia akan belajar hidup penuh cinta dan bersahabat. Berbeda dengan lingkungan yang penuh dengan celaan, hinaan, permusuhan, yang hanya akan menghasilkan manusia-manusia dengan pribadi labil dan kurang bermoral.
Pengalaman-pengalaman hidup, kejadian-kejadian yang dialami juga sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga membentuk suatu paradigma yang melekat dalam pemikirannya. Seringkali paradigma dijadikan sebagai suatu “kaca mata” dan sebuah tolok ukur bagi dirinya sendiri, atau untuk menilai lingkungannya. Hal ini jelas akan sangat merugikan dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Ini akan sangat membatasi cakrawala berpikir, akibatnya dia akan melihat segala sesuatu secara sangat subjektif, dia akan menilai segalanya berdasarkan ”frame” berpikirannya sendiri, atau melihat berdasarkan bayangan ciptaannya sendiri, bukan melihat sesuatu secara riil dan objektif. Dia akan menjadi produk dari pikirannya. Dia akan terkungkung oleh dirinya sendiri. Kadang dia tidak menyadari sama sekali bahwa alam pikirannya itu sudah begitu terbelenggu.
Prinsip yang benarlah yang akan melindungi diri kita dari pengaruh pengalaman hidup, bukan ”proaktif”, karena proaktif barulah sebuah metode untuk melihat sesuatu secara berbeda. Melihat sesuatu secara proaktif tanpa dilandasi suatu prinsip yang benar, hanya akan menjebloskan diri kita pada paradigma keliru lainnya, yang tidak kalah menyesatkan.

4. Kepentingan dan Prioritas
Kepentingan tidak sama dengan prioritas. Kepentingan cenderung bersifat mikro (diri sendiri), sedangkan prioritas bersifat makro (universe), yaitu mengarahkan kita untuk melaksanakan hal yang tepat. Prioritas juga lebih spesifik daripada efisiensi, yaitu mengarahkan kita untuk melaksanakan sesuatu secara benar. Dengan demikian, prioritas menjadi sebuah hal yang esensial sekaligus menjawab permasalahan sumber-sumber yang tidak mencukupi, manusia serta materi yang sangat terbatas. Prioritas bermuara dari prinsip, suara hati, kepentingan, dan kebijaksanaan.
Sebuah prinsip akan melahirkan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan prioritas apa yang didahulukan.Orang yang berprinsip politik, akan memikirakn sesuatu yang bisa langsung memberikan keuntungan secara politik. Mereka yang berprinsip pada penghargaan pribadi, akan memiliki dan memprioritaskan sebuah keputusan yang akan mengangkat nama dirinya secara pribadi. Mereka yang berprinsip pada pekawanan, akan memprioritaskan sesuatu yang bisa melanggengkan persahabatan. Pada intinya prinsip akan melahirkan prioritas. Dan orang yang bijaksana akan mengambil suatu keputusan yang mempertimbangkan semua aspek sebagai satu kesatuan atau prinsip keesaan (tauhid).
Seringkali suara hati kita turut berbicara memberikan informasi yang maha penting dalam menentukan sebuah prioritas. Tetapi seringkali suara hati itu diabaikan oleh kepentingan dan nafsu sesaat atau kepentingan untuk memperoleh keuntungan jangka pendek, yang justru akan mengakibatkan kerugian dalam jangka waktu yang panjang.

5. Sudut Pandang
Dunia digemparkan dengan adanya kasus tentang “Domba Dolly” yaitu percobaan cloning yang sukses. Orang yang berprinsip pada ilmu pengetahuan mendukung, karena ini merupakan suatu perkembangan ilmu biologi yang sangat luar biasa. Namun beberapa agamawan menentang cloning ini, karena dianggap mengingkari Tuhan, “Garis demarkasi Tuhan”, katanya. Orang yang berprinsip pada ilmu pengetahuan mendukung, dan sebaliknya yang berprinsip pada etika moral menolak. Tidak kurang Bill Clinton pun sempat menolak hal ini. Dan sampai saat ini cloning masih menjadi perdebatan, bagaimana menurut anda?

a. Langkah Pertama
Untuk menjawab kondisi tersebut di atas maka pergunakanlah radar hati anda terlebih dahulu untuk menelusuri alam pikiran anda. Renungkan sejenak, apakah sebenarnya prinsip yang bertengger di pikiran anda?
- Berprinsip pada ilmu pengetahuan, anda akan setuju.
- Berprinsip pada keagamaan, anda mungkin akan lebih berhati-hati dan cenderung menolak.
- Berprinsip pada penciptaan, sudah pasti anda akan mendukung.
- Berprinsip pada uang, jelas anda akan menyetujuinya.
- Berprinsip pada kesejahteraan, anda mulai mendukung, tetapi anda akan berpikir pada factor yang lainnya yaitu keamanan.
- Ingat sifat Allah yang selalu bijaksana dan adil, maka anda pun akan bersifat adil dan bijaksana pula dalam mengambilkeputusan, dengna mempertimbangkan semua kepentingan yang berasal dari suara hati yang lain atau berfikir melingkar (99 Thinking Hats). Thawaf suara hati.

b. Langkah kedua
Dalam langkah kedua kembangkan beberapa hal:
- Bersikap empati, yaitu mengenali dan memahami cara berpikir mereka. Anda akan dengan mudah mengenali prinsip mereka dengan cara mendengar jawaban dan pendapatnya.
- Pergunakan radar hati anda dengan cara berpikirr “melingkar”, maka akan tersingkap bahwa jawaban mereka pastilah berdasarkan suara hati juga, yang berbeda hanyalah prioritas dan kepentingan saja.
- Berikan koridor dan tampung aspirasi mereka, bersikaplah rahman dan rahim!

c. Langkah ketiga
Dalam langkah ketiga hal-hal yang perlu dikembangkan:
- Musyawarahlah dengan berlandaskan prinsip,empati dan prioritas berdasarkan situasi pada saat itu.
- Berprinsip zero mind dan berprinsip adil, dan tetap memegang prinsip hanya Allah-lah yang Maha Benar.
- Jadi apakah keputusan anda sekarang, silahkan anda putuskan!

6. Pembanding
Seringkali di dalam suatu rapat, terjadi adu argumentasi yang keras, kelompok yang satu berkata “A” dan kelompok yang lain berkata “B”. Bahkan sudah sekian lama rapat itu berjalan namun belum ada kata sepakat, mereka saling berdebat, tetapi belum juga menghasilkan keputusan yang disepakati.
Kita sering menilai sesuatu berdasarkan perbandingan pengalaman yang telah dialami sebelumnya dan bayangan yang kita ciptakan sendiri di alam pikiran kita. Pada saat kita melihat sesuatu secara spontan dan tanpa kita sadari kita telah membandigkan sesuatu berdasarkan pikiran kita.
Paradigma penilaian di dalam pikiran kita begitu mudah berubah,hanya dalam hitungan sepersekian detik saja. Kita bisa bayangkan, betapa lingkungan dengan secepatnya menciptakan dan mengubah pikiran kita setiap saat. Akhirnya kita menjadi korban hasil bentukan lingkungan. Inilah yang harus kita jaga, keteguhan pikiran dan prinsip kita sebagai tolok ukur, bukan lingkungan. Di sinilah manusia sering berbeda pendapat dan saling berbantah-bantah.
Di sinilah prinsip yang kuat harus dimiliki. Prinsip ini haruslah prinsip yang harus benar-benar teruji kehandalannya. Prinsip ini harus dijaga kemurniannya dan harus terus diasah melalui mekanisme yang konsisten dan terarah. Melalui mekanisme yang jelas dan terarah ini, prinsip keilmuan yang ada dalam pikiran kita akan selalu terasah dan memiliki achievement tnggi. Ingatlah bahwa ‘ilmu’ bergerak dari pembenaran dan sanggahan, berdasarkan logika dan bukti-bukti nyata. Kalau itu terjadi, maka kita mampu menjadi sosok manusia yang tidak saja pekerja keras dan berprestasi, namun juga mampu ”mencari karunia Tuhan Yang Maha Esa”, mampu menilai sesuatu mengambil keputusan secara objektif berdasarkan prinsip fitrah yang abadi, bukan karena pengaruh dan tuntutan lingkungan semata.

7. Literatur
Beberapa jenis literature yang telah saya baca, begitu menekankan pentingnya skill pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan.bahwa keberhasilan seseorang banyak ditentukan oleh teknik luar, seperti teknik membuat orang lain senang denagn cara memberi senyuman; orientasi pada minat orang lain; pura-pura mendengar pada saat orang lain berbicara; sering menyebut dan mengingat nama orang lain, dan masih banyak lagi. Pada prinsipnya, saya merasa semuanya sebatas teori yang menyentuh permukaan yang tidak mampu menerobos ke akarnya. Dalam arti, hanya sebatas kulit dan cenderung basa-basi. Akibatnya, menghasilkan orang yang berprinsip pada penghargaan semata. Namun pada saat di kehilangan penghargaan itu, dia menjadi rapuh.
Jika kita pelajari dan dalami semua, kembali kita akan menyadari bahwa sebenarnya Pikiran Bawah Sadar baik menurut Napoleon Hills, atau Keajaiban Besar menurut David J.Scwartz, Ph.D., maupun Kecerdasan Emosi menurut Robert K.Cooper,Ph.D., semuanya memiliki kaidah yang sama namun hanya berbeda nama. Itulah bentuk usaha pencarian mereka, mencari kebenaran yang pada akhirnya, kelak akank tiba di satu sumber, baik secara sadar atau tanpa disadari. Semua akan mengakui kebenaran Allah SWT dan Al Qu’ran serta ajaran Nabi Muhammad SAW pada akhirnya. Dan bahwa suara hati sebenarnya dorongan yang berasal dari sifat-sifat ke-Ilahian. Umumnya orang menjadikan buku-buku barat atau ilmu pengetahuan sebagai pegangan atau kiblat, atau bertuhan kepada ilmu. Bukan kepada pemilik ilmu, yaitu Sang Pencipta Ilmu, Allah Tuhan Semesta Alam. Inilah sesugguhnya sebuah pengakuan dan anggukan universal, bagi setiap hati yang terbuka.

4 komentar:

Tanpa Nama berkata...

Terima kasih atas bahan pembahasannya!! bermanfaat bagi saya dalam mengerjakan tugas Kuliah.

TTD

Mahasiswa STMIK WIDYA DHARMA PONTIANAK

raditya putratama s berkata...

berhubung dengan hati nuri, saya mau bertanya
apa yg harus kita lakukan jika diminta tolong oleh teman kita untuk merahasiakan identitas dia, sedangkan kita tahu dia adalah seorang buronan?

mohon jawabannya mas?

phiki berkata...

bagaimana jika potensi kecerdasan hati nurani itu tidak berkembang dalam diri manusia, bisa tolong jelaskan tidak.....

Pendidikan berkata...

wah berfaedah sekali

Catat Ulasan

 
Design by yusup doank | Bloggerized by yusup doank juga | coupon codes