TINJAUAN UMUM ETIKA
A. Pemikiran Kritis
Banyak pertanyaan tak terjawab memenuhi benak sebagian orang: Mengapa studi etika (budi pekerti/akhlak/moral) tidak mendapatkan kedudukan yang layak seperti studi-studi keilmuan yang lain? Bagaimana mungkin etika yang paling dekat dengan masalah-masalah sosial, bahkan menjadi masalah sosial tak mendapat cukup perhatian dari para ilmuan? Mengapa pula para ilmuan mengkaji berbagai macam ilmu pengetahuan, dan berusaha mengarahkannya agar berdampak positif bagi manusia, tetapi etika, sesuatu yang sudah pasti berdampak baik bagi manusia tidak dikaji secara lebih mendalam?
Mengapa pula sebagian agamawan: kyai, ustadz, pastor, pendeta, atau yang lainnya banyak berbicara tentang agama (keimanan/theologi, hukum sejarah, dan lainnya), tetapi etika yang menjadi substansi agama jarang sekali dibicarakan? Ataukah mereka menganggap bahwa etika bukan persoalan agama? Padahal kesempurnaan agama dan kemulian manusia terletak pada kesempurnaan budi pekerti (etika).
Mengapa pula negara (pemerintah) menggalakan pembangunan di segala bidang, tetapi hampir seluruhnya bersifat fisik dan jasmani belaka? Padahal manusia tidak cukup hanya dijejali dengan hal itu saja. Manusia adalah makhluk dua dimensi; jasmani dan rohani, maka pembangunan pun harus diarahkan kepada kedua dimensi tersebut. Dan etika adalah keilmuan yang mengarahkan keduanya, kenapa ia tidak mendapat perhatian? Seorang sastrawan Mesir, Syauqi Baih berkata: “Suatu bangsa akan tetap berjaya apabila menjungjung tinggi budi pekerti, tetapi bila ia ditinggalkan maka bangsa itupun akan hilang”.
Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pemikirannya, harus seiring dengan pembangunan fisik, sosial, dan budayanya. Al-Alamah Muhammad Baqir Shadar, tokoh spiritual dan politik Irak, menjelaskan bahwa jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan fisik maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang keropos. Namun yang jelas pembangunan mental yang berjalan dengan orientasi proses yang benar, maka pembangunan fisik tidak akan sulit untuk segera menyusulnya.
Selain hal tersebut, juga karena banyak merebaknya isu-isu moral di tengah masyarakat. Apabila mau memperhatikan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka akan terlihat tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dalam pelaksanaan nilai-nilai budi pekerti dan sopan santun. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin tingginya angka kriminalitas, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan yang lainnya. Dan ironisnya hal, ini hampir terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, dimulai dari tingkat individu, keluarga, dan masayarakat, bahkan di tingkat Negara fenomena ini sudah sangat memprihatinkan.
B. Ajaran Moral: Sejarah Kemunculan dan Variasi Pemikiran
Ajaran moral sudah sejak lama berkembangan sejak keberadaan manusia di muka bumi ini, informasi tersebut dapat dilihat dalam beberapa kitab suci, seperti dalam al-Qur’an, Injil, dan Upanishad, walaupun dalam versi yang berbeda-beda. Ajaran moral dalam perkembangan selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad yang lalu di Yunani. Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa pemikiran filsafat yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh filsafat Yunani.
Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari pemikiran murid-murid Pytagoras (570-496 SM). Pemikiran etika yang berkembang di kalangan murid Pytagoras tersebut adalah bahwa badan merupakan kubur jiwa, sehingga jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari badan maka dia perlu menempuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya. Bagi mereka, dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi. Pemikiran yang demikian kemudian disambung oleh pemikiran Democritus (460-371 SM) yang mengajarkan suatu aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Dan masih menurut Democritus, nilai tertinggi dala kehiduoan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme).
Selanjutnya Kaum Sofis (kaum bijak tapi dikenal kurang baik pada zaman Yunani klasik) berpendapat bahwa baik atau buruk lebih merupakan masalah keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama daripada suatu aturan abadi. Hukum tidaklah abadi dan tidak pula berlaku umum, tergantung kesepakatan yang mungkin berbeda pada tempat berbeda. Sampai-sampai salah satu dari mereka Antiphon, menyatakan bahwa hukum boleh saja dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya. Namun pandangan ini kemudian dipatahkan oleh kalangan yang dekat dengan mereka sendiri, yaitu Socrates. Socrates (469-399 SM) membuka dan memperlihatkan bahwa pengandaian-pengandaian kaum Sofis tidak dapat diperatahankan. Untuk itu Socrates membawa manusia kepada paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi anggapannya sendiri.
Pemikiran besar tentang etika dari era Yunani juga lahir dari Plato (427-348 SM), di mana yang sangat fenomenal darinya adalah ajarannya tentang idea. Mendasarkan pada perumpamaan sebuah setting cerita dalam gua. Plato memperlihatkan bahwa apa yang pada umumnya dianggap kebenaran masih jauh sekali dari realitas sebenarnya. Bahwa hanya kalau manusia berani keluar dari gua, ia dapat sampai pada realitas yang sesungguhnya. Gua dalam hal ini adalah penggambaran dari kegelapan dan kesempitan cara pikir manusia yang hanya terbatas pada suatu kerangka yang dapat dijangkau dengan media materi, dan itulah realitas inderawi. Menurut Plato, realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah sang baik itu sendiri, dan sang baik ini adalah tujuan dari segala yang ada. Sang baik itu menurut Plato adalah Ilahi.
Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik. Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil, tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu. Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka.
Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi, sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.
Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo, 2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri. Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu menerima alam idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Hidup yang baik bagi manusia, menurut Aristoteles, adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuan hidupnya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhya. Apapun tujuan hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai, dan nilai inilah yang menjadi tujuan. Sesuatu yang bernilai adalah yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan. Oleh karena kebahagiaan merupakan puncak pencapaian manusia, maka tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebahagaiaan bagi diri manusia tersebut. Pencapai kebahagiaan manusia terjadi melalui suatu tindakan. Tanpa tindakan manusia tidak mungkin berbahagia. Tindakan yang membawa pada pencapaian kebahagiaan adalah tundakan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi.
Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut: “ Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak. Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif. Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan “pengertian yang tepat”. Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu”
Bagaimanapun “pengertian yang tepat” bukanlah tolak ukur yang terurai, melainkan lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami tindakan mana yang dalam situasi tertentu paling tepat. Betapa dalam hal yang demikian pengasahan rasa dan batin menjadi suatu keharusan. Hanya karena dengan cara itulah menjadi manusia yang berpengertian dengan tepat dapat dicapai. Bertolak dari pandangan demikian, tepat pula bila pemikiran Aristoteles disebut dengan etika kebijaksanan.
Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan. Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak. Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen sebagaimana dipahami dalam hedonisme.
Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan seluruhnya berada di bawah takdir.
Di dalam pemikiran etika, ajaran Stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri. Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral. Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan.
Di luar pemikiran etika yang berbasis kefilsfatan, terdapat juga pemikiran yang berbasiskan nilai-nilai agama. Di dalam agama Nasrani terdapat tokoh-tokoh seperti Augustinus. Augustinus (354-430 SM) pada jamannya dianggap membawa nuansa baru tentang pemikiran etika. Dalam pemikirannya, terdapat dimensi kesadaran akan “transendensi”. Sebuah pemikiran yang sebenarnya juga telah terdapat dalam pemikiran Plato tentang “sang baik”. Namun tidak seperti Plato yang terhenti pada pemahaman secara intelektual belaka, sebagai ketertarikan jiwa manusia kepada idea yang baik. Karena tidak puas pada pemahaman yang demikian, maka Augustinus berpendapat bahwa: Kita hanya dapat sampai pada kepada Allah dengan dorongan hati kita, yaitu “kehendak”. Kehendak itu adalah “cinta”. Di dunia ini, kita tidak dapat melihat Allah, tetapi kita sudah dapat mencintai-Nya (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).
Mencermati pemikiran Augustinus di atas dapat ditarik pemahaman bahwa yang menentukan kualitas moral seseorang adalah kehendak atau cinta, bukan tindakan lahiriah atau hasil lahiriah tindakannya. Inti dari moralitas terletak dalam sikap hati (sikap batin) seseorang, bukan dalam tindakan lahiriahnya. Sikap hati yang demikian tentu tidak terlepas dari hubungan transendensi manusia dengan Tuhan. Sikap hati yang selalu mengarah kepada eksistensi Tuhan tentunya akan menuntun pada perbuatan (sikap lahiriah) yang tidak bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dengan landasan tersebut maka Augustinus berani mengatakan, “Cintailah, dan lakukan apa saja yang kau kehendaki”.
Menyambung dari pemahaman di atas, selanjutnya Suseno, juga mengemukakan tiga unsur kunci yang menyatu dari pandangan etika Augustinus. Tiga unsur kunci tersebut adalah kewajiban moral, identitas diri, dan kebahagiaan. Kewajiban moral berlangsung bukan dalam kerangka untuk mentaati peraturan, tetapi karena dorongan cinta pada Tuhan. Cinta kepada Tuhan merupakan manifestasi dari penegasan atas identitas diri yang selalu tertuju pada nilai yang paling tinggi (yaitu Tuhan). Dengan memenuhi kewajiban moral tersebut seseorang kemudian dapat mencapai kebahagiaan.
Pemikir besar Eropa selanjutnya dari kalangan Kristen adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Meskipun kerangka dasar pemikirannya berangkat dari pemikiran Aristoteles, namun Aquinas memberikan dimensi lain tentang arti kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia. Menurut Aquinas, tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai bila ia memandang Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perintah moral yang paling mendasar adalah “Lakukanlah yang baik, jangan lakukan yang buruk”. Yang baik adalah apa yang sesuai dengan tujuan akhir manusia, dan yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Kemampuan untuk berbuat baik dan menghindari yang buruk disebut sebagai “keutamaan”.
Sedangkan dalam Islam, secara deskriptif dan sistematis, keragaman aliran pemikiran etika dalam Islam dapat ditemukan pemikiran dari berbagai pemikiran kalangan Islam yang bersifat rasionalistik maupun voluntaristik, serta yang berdimensi teologis maupun religius.
Dalam perspektif teologis (disebut juga etika teologis), pemikiran etika antara lain berkembang dengan penekanan pada kerangka dialektis dan metodologis untuk menentukan status logis dari proporsi etis daripada membangun teori moralitas yang substansif. Penekanan pada pembahasan teologis tentang etika ini cenderung bersifat polemik. Polemik terjadi antara kalangan Mu’tazilah yang rasionalis dan kalangan Asy’ariyah serta Hambaliyah yang determinis.
Kalangan rasioanalis berpendapat bahwa kategori moral benar dan salah dapat diketahui oleh akal dan dasar kebenarannya pun dapat dijustifikasi secara rasional. Hakekat benar dan salah dapat ditetapkan secara rasional dan terlepas dari aturan-aturan Tuhan seperti tertera dalam Al-Qur’an. Sementara itu kalangan determinis berpendapat bahwa Tuhan adalah pembuat yang sebenarnya dari setiap perbuatan dan kejadian di dunia dan karenanya pekerjaan-pekerjaan yang dilekatkan pada manusia benar-benar bersifat metafora.
Dalam perspektif religius (disebut juga etika religius), pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara lebih langsung berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam etika religius ini adalah pemikiran Al-Ghazali.
Dalam diskusi ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapaian kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkan kepada manusia melalui berbagai cara. Bagaimanapun dalam pengetahuan terdapat pemilahan pada ilmu-ilmu teoritis dan praktis. Etika sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya, menurut Al-Ghazali termasuk dalam pemilihan ilmu-ilmu teoritis. Namun Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa etika adalah puncak ilmu praktis, sehingga penyelidikan etika harus dimulai dengan pengtahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana telah tercantum dalam Al-Qur’an dan merupakan pengenalan menuju pengetahuan tentang Tuhan. Sementara itu perbuatan diartikan sebagai mengekang nafsu jiwa, mengontrol amarah, dan menekan pertumbuhannya sehingga benar-benar tunduk terhadap akal. Disinilah letak kebahagiaan sejati manusia dan terbebas dari belenggu nafsu-nafsu.
Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya.
Aliran besar pemikiran etika pertama adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme. Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban. Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan demi kewajiban pula.
Aliran besar pemikiran etika kedua adalah teleologi yang dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Etika teleologi ini juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, dan mempunyai pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Dalam hal ini Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) memberikan sebuah contoh di mana tidak selamanya mencuri selaludinilai sebagai tindakan buruk. Baik buruknya penilaian ini tidak didasarkan atas baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian mencuri dapat dinilai baik jika tujuan dan akibatnya adalah baik.
C. Pengertian Etika
Kata Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Dalam bentuk tunggal (ethos) berarti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) berarti: adat, kebiasaan. Menurut K. Bertens, arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Dengan demikian etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau tentang adat kebiasaan masyarakat. Rahmat Djatnika memberikan pengertian yang lebih khusus lagi, yaitu tatanan perilaku berdasarkan suatu system tata nilai suatu masyarakat tertentu berkaitan dengan ilmu filsafat, dan yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan tentang beberapa arti etika, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan 3) nilai mengenai benar salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari pengertian tersebut, etika dapat dipahami dalam beberapa arti, hal ini tidak berbeda dengan penjelasan K. Bertens, yaitu: 1) dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (system nilai), 2) kumpulan asas atau nilai moral (kode etik), dan 3) ilmu tentang yang baik atau buruk (filsafat moral).
D. Penjernihan Istilah
Dalam hal yang berhubungan dengan pembahasan Etika, orang seringkali mempergunakan istilah-istilah yang secara bahasa berbeda tetapi secara makna hampir sama bahkan sama persis. Adapun istilah yang dimaksud adalah: 1) Moral, akhlak, dan budi pekerti, dan 2) Tatakrama, sopan santun, adab, dan etiket.
Agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahfahaman makna, maka istilah-istilah tersebut perlu dijernikan pemahamannya, yaitu :
1. Moral, Akhlak, dan Budi Pekerti
a. Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin, mos, dan bentuk jamaknya mores, yang berarti adat-istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Pada awalnya baik dan buruk ditentukan oleh cara dan tingkah laku manusia ketika mengerjakan sesuatu. Ketika cara dan tingkah laku tersebut memberikan kenyamanan dan kemanfaatan maka mendorong manusia pada saat itu untuk membiasakannya. Karena sudah terbiasa maka hal tersebut menjadi adat-istiadat.
Secara terminology Muhammad Daud Ali mendefinisikan moral berkaitan dengan akhlak manusia yang dipandang baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat memiliki kapasitas untuk diarahkan oleh sebuah kesadaran benar dan salah dan mengarahkan yang lain sesuai kaidah tingkah laku yang dinilai benar atau salah. Sedangkan K. Berten mendefinisikan moral sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, orang mengatakan, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Maknanya menganggap perbuatan tersebut melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam mayarakat. Atau dikatakan bahwa pemakai narkoba mempunyai moral yang bejat, artinya palakunya berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang buruk.
b. Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu akhlaaq merupakan bentuk jamak dari kata khuluuq atau khulq, yang berarti 1) tabiat, budi pekerti, 2) kebiasaan atau adat, 3) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, 4) agama, dan 5) kemarahan (al-ghadhab).
Secara terminologis Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Senada dengan pengertian di atas, Muhammad Daud Ali mendefinisikan akhlak dalam kalimat yang lebih ringkas, yaitu ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Sementara Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak bukan sebagai disiplin ilmu, tetapi sebagai character atau personality, yaitu: suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang daripadanya lahir perbuatan–perbuatan dengan mudah, tanpa proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji sesuai dengan akal dan syara’ (hukum Islam), disebut akhlak yang baik/terpuji (al-akhlaaq al-hasanah/al-mahmuudah). Sedangkan jika perbuatan-perbuatan yang timbul tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk (al-akhlaaq al-sayyiah/al-madzmumah).
Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat dalm jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak kalau memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) Perbuatan tersebut dilakukan berulangulang. Kalau satu perbuatan hanya dilakukan sesekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak, Misalnya, pada suatu saat, orang yang jarang berderma tiba-tiba memberikan uang kepada orang lain karena alasan tertentu. Dengan demikian tindakan tersebut tidak dapat disebut murah hati atau berakhlak dermawan, karena hal itu tidak melekat dalam jiwanya. Perbuatan tersebut timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dahulu sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan atau dipertmbangkan secara matang, tidak disebut akhlak.
Dari penjelasan tersebut di atas, akhlak secara terminology memiliki dua pengertian, yaitu: 1) sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu tentang baik dan buruk (Ahmad min dan Muhammad Daud Ali) dan 2) sebagai character yang melekat dalam diri dan menjadi identitas seseorang (al-Ghazali).
c. Budi Pekerti
Kata budi pekerti terdiri dari dua suku kata, yaitu budi dan pekerti. Secara etimologi, kata budi memiliki arti, yaitu: 1) akal (sebagai alat batin untuk menimbang baik dan buruk), 2) tabiat, watak, akhlak, perangai, 3) kebaikan, perbuatan baik, 4) daya upaya, ikhtiar, dan 5) akal (dalam arti tipu daya, kecerdikan untuk menipu, dan yang lainnya. Sedangkan pekerti memiliki arti, yaitu: 1) ketika dirangkai dengan kata budi: budi pekerti tabiat, watak, akhlak, 2) perbuatan (kurang baik).
Secara terminologi budi pekerti dapat didefinisikan sebagai tatanan nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia, baik lahir maupun batin yang dipandang dari baik dan buruk.
Yang dimaksud lahir adalah sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia yang dapat dilihat, didengar, dan/atau dirasakan oleh yang lain. Sedangkan yang dimaksud batin adalah sesuatu yang berasal dari jiwa manusia yang dapat melahirkan sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia tersebut. Secara sederhana dapat dipahami bahwa budi tumbuhnya dalam jiwa, apabila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.
2. Adab, Etiket, Tatakrama, dan Sopan Santun
a. Adab
Secara terminology, kata adab berasal dari bahasa Arab, yaitu aduba - ya’dubu - adabun, yang berarti tertib, sopan santun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adab memiliki beberapa arti, yaitu: 1) sopan, kesopanan, dan 2) kehalusan dan kebaikan budi pekerti (tingkah laku). Secara terminology adab dapat dipahami sebagai tata tertib atau aturan yang menunjukkan kehalusan dan kebaikan budi pekerti ketika berhubungan atau berkomunikasi dengan yang lain.
Istilah adab, permulaannya sering dipakai oleh kaum Muslim, terutama pada kalangan sufi dan thariqat. Tatacara pergaulan yang mereka pergunakan ketika berhubungan dengan yang lain (termasuk juga kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad s.a.w.) itulah yang disebut adab. Dalam Islam adab bukan hanya sebagai tatacara pergaulan, tetapi sebagai refleksi atas apa yang ada dalam diri. Seseorang baru bisa disebut beradab ketika ada kesesuaian antara keduanya.
Pada kaum Muslim dikenal beberapa macam adab, diantaranya : 1) adab kepada Allah, 2) adab kepada para utusan Allah SWT, 3) adab kepada kedua orang tua, 4) adab kepada guru/dosen, 5) adab kepada orang lain, 6) adab kepada alam, 7) adab membaca al-Quran, 8) adab menuntut ilmu, 9) adab makan dan minum, 10) adab di kamar mandi, dan 11) adab yang lainnya.
b. Etiket
Secara etimologi, kata etiket berasal dari bahasa Inggris, etiquette, yang berarti tatacara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etiket berarti: 1) secarik kertas yang bertuliskan nama atau lainnya yang diletakan pada botol (kotak dan lainnya), dan 2) aturan sopan santun dalam pergaulan. Etiket dalam arti yang kedua itulah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini.
K Berten, ketika membandingkan antara etika dan etiket, menjelaskan bahwa etiket membahas beberapa hal, yaitu: 1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia, seperti ketika menyerahkan sesuatu harus dengan tanan kanan, 2) etiket hanya berlaku dalam pergaulan, bila tidak ada orang lain yang hadir maka etiket tidak berlaku 3) etiket bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan yang lain, dan 4) etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja.
c. Tata Krama dan Sopan Santun
Secara etimologi kata tata krama berasal bahasa Jawa (totokromo), yang berarti 1) adat, sopan santun, 2) basa-basi. Sedangkan sopan santun memiliki beberapa arti, yaitu: 1) hormat dan takzim, 2) beradab (tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian, dan yang lainnya), 3) baik kelakuannya (tidak cabul, tidak lacur), dan 4) adat istiadat yang baik, tatakrama, peradaban, kesusilaan.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tatakrama dan sopan santun memiliki makna yang sama, dan keduanya merupakan cara lahiriah ketika berhubungan dengan yang lain, sama dengan etiket.
Apabila kita mengkaji keempat kata tersebut, kata tersebut dalam kamus bahkan dalam pergaulan masyarakat sehari-hari sering sekali dijadikan padanannya atau saling mengartikan antara satu dengan yang lainnya, seperti kata sopan santun berarti etiket, adab, dan tatakrama. Dengan demikian, keempat kata tersebut memiliki makna yang sama, namun berasal dari bahasa yang berbeda secara. Kecuali untuk kata adab ada pengkhusususan tidak saja berlaku pada sat ada orang lain, tapi juga berlaku ketika sendirian.
0 komentar:
Catat Ulasan