Selasa, November 01, 2011

Lebay



"Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah? Dan di manakah orang yang jujur dipunahkan? Yang kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga," kata Elifas kepada sahabatnya yang sedang dirundung malang tak berkesudahan.


Elifas, tokoh yang hidup lima ratusan tahun sebelum Masehi, percaya hukum tabur-tuai, hukum sebab-akibat, hukum daya tarik, law of attraction. Jika Anda baik, maka kebaikan akan menghampiri Anda. Jika Anda jahat, maka kejahatan akan mendekati Anda. Apa yang sering Anda pikirkan akan menjadi kenyataan. Jika Anda suka cemas, maka hal-hal yang mencemaskan akan datang berkunjung. Jika Anda berpikir sukses, maka jalan-jalan kesuksesan akan terhampar di hadapan Anda. Terdengar familiar?


Di dekade pertama abad ke-21 ini, cara pandangan Elifas kembali populer berkat orang-orang seperti John Assaraf, Michael Beckwith, Jack Canfield, James Arthur Ray, Bob Proctor, Joe Vitale, Lisa Nichols, Marie Diamond, dan guru-guru The Secret-nya Rhonda Byrne (2006). Dari Kanada, Michael J. Losier (2007) mengirimkan naskah yang sama dengan judul The Law of Attraction dan menegaskan: "I attract to my life whatever I give my energy, focus, and attention to, whether wanted or unwanted." Sementara di Indonesia, kebanyakan pembicara dan mereka yang disebut sebagai motivator ikut menjual gagasan berusia dua setengah abad ini.


Tapi, ngomong-ngomong, kepada siapa Elifas sedang berbicara waktu itu? Apa persoalan yang sedang dihadapi sahabatnya, sehingga ia mengucapkan kalimat yang demikian?


Sahabat Elifas adalah tokoh sukses yang luar biasa kaya di zamannya. Ia memiliki segala ukuran kemakmuran pada masa itu: kambing, domba, unta, lembu, keledai, dan budak dalam jumlah yang sangat besar. Ia memiliki tujuh anak lakilaki dan tiga anak perempuan, yang semuanya hidup rukun satu sama lain. Dan yang paling mengesankan mengenai orang ini adalah: ia dikenal karena kesalehan, kejujuran, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan. Mencengangkan!


Di zaman sekarang, tokoh seperti sahabat Elifas ini sulit dicari. Kita mungkin mengenal 100 orang terkaya di Indonesia, tetapi siapa di antara mereka yang memiliki keluarga yang rukun dan harmonis? Atau kita mengenal orang-orang yang keluarganya harmonis, tetapi apakah mereka hidup berkelimpahan? Belum lagi ini, siapakah orang kaya yang bisa kita masukkan dalam kategori orang saleh dan jujur sekaligus? Mana yang lebih mudah kita temukan: orang kaya karena korupsi-kolusi-nepotisme atau orang kaya karena saleh dan jujur? Kembali ke sahabat Elifas, dan dengan memakai konsep law of attraction, maka apakah yang mungkin terjadi pada kehidupan orang yang sangat kaya, dengan keluarga yang sangat harmonis, dan dengan kesalehan dan kejujurannya itu? Jawabnya tentu: ia akan makin kaya, diberkati dengan kelimpahan, dan diberi kesehatan prima.


Namun sejarah mencatat yang lain. Orang terkaya ini tertimpa musibah beruntun. Lembu dan keledainya dirampok orang-orang Syeba dan budak-budaknya dibunuh. Pada tempat yang lain kambing, domba dan penjaganya disambar petir, terbakar, dan tewas. Unta-unta dan penjaganya dijagal orang-orang Kasdim. Dan angin badai menerpa rumah anak sulungnya ketika semua anaknya sedang menikmati jamuan makan, sehingga reruntuhan bangunan merenggut nyawa mereka semua. Seakan tak cukup, kebangkrutan harta dan kehilangan anak-anak tercinta, orang yang sudah bangkrut ini harus terkena penyakit kulit berbau busuk, dari ujung kaki sampai ujung kepala.


Oh kita mungkin terperangah. Pengalaman Nabi Ayub, tokoh sahabat Elifas ini, sungguh tak cocok dengan konsep hukum sebab-akibat, law of attraction, berlawanan dengan semua nasihat pengajar The Secret. Kesalehan dan kejujuran tak membawa berkah, tapi justru mengundang musibah. Pikiran dan sikap positif tak menghasilkan dampak yang senada. Ke mana larinya semua getaran energi positif dari batin orang kaya yang saleh dan jujur itu? Ayub berada di lembah bayang-bayang maut, lembah kekelaman.


Apa responsnya? Minimal ada dua yang menarik. Pertama, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" Yang kedua, "Apakah kita mau menerima yang baik Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"


Jelas bagi Ayub bahwa semua hal yang terjadi di muka bumi merupakan penyelenggaraan Ilahi, tanpa kecuali. Ia sadar dirinya bukan pemilik, tapi pengelola saja dari semua yang dititipkan kepadanya. Ia menerima ketika yang bukan miliknya diambil oleh Sang Pemilik, sebab ia paham tak ada haknya untuk komplain. Hatinya tidak melekat pada berkat dan kemakmuran, tetapi pada Sang Pemberi berkat dan kemakmuran itu. Dalam keyakinannya akan kebaikan Tuhan, ia tak sungkan menerima apa yang dianggap orang sebagai hal yang buruk sekali pun. Sungguh kearifan yang melampaui law of attraction, mengatasi logika sebab-akibat, menembus batas-batas terapi berpikir positif dan ajaran positive mental attitude.


Apa pesan kisah Ayub dan Elifas? Kawan yang mempelajari kisah ini dengan saksama menawarkan pada saya tiga kunci emas: iman kepada Tuhan dalam segala keadaan, keterbukaan atas cara Tuhan bekerja yang sering tak sesuai pikiran dan kemauan kita, dan ketaatan akan pimpinan Tuhan karena tahu IA memberi yang terbaik bagi yang beriman kepadaNya, sesuai waktuNya sendiri.


Ia juga mengingatkan agar saya jangan lebay kalau menyemangati orang. Jangan menganggap law of attraction pasti benar, mutlak benar. Semua gagasan mengenai The Secret dan Law of Attraction itu lebay, berlebihan. Siapa saja yang hatinya bersih akan tahu bahwa hidup tak segampang hukum daya tarik. Acap hadir misteri Ilahi di sudut-sudut kejadian, ketika orang yang saleh ditimpa kemalangan dan orang jahat mendapat kemakmuran. Kita tak mengerti, tapi Tuhan tidak tidur. Jadi, sekali lagi, jangan lebay, please!

SUMBER



tinggalkan komentar

0 komentar:

Catat Ulasan

 
Design by yusup doank | Bloggerized by yusup doank juga | coupon codes