Sebagai satu disiplin ilmu, maka ilmu etika memiliki metode dan kegunaan. Metode yang dikembangkan dalam secara garis besar berdasarkan metode yang dikembangkan dalam filsafat. Sedangkan tujuannya secara garis besar, menjadikan manusia menjadi baik. Demi kepentingan tulisan ini, maka pembahasan tidak akan difokuskan pada kedua tema tersebut saja, tapi ada dua tema lain yang penulis merasa perlu dibahas di sini, yaitu landasan dan pendekatan etika. Dengan tujuan agar pemahaman metode dan kegunaan etika bisa dipahami secara komprehensif.
A. Landasan Etika
Menurut sebagian penulis, Socrateslah filosof pertama yang meletakan dasar-dasar ilmu etika, dan Aristoteleslah (384-322 SM) filosof pertama yang membangun madzhab etika. Untuk kepentingan tulisan ini, ada baiknya jika mengetahui landasan etika Aristoteles.
Aristoteles melontarkan pertanyaan, apakah teori etika dibangun berdasarkan prinsip-prinsip teoritis murni ataukah bertolak dari realita? Dia menjawab, semuanya harus dimulai dari realitas indrawi. Jawaban ini secara otomatis mengesampingkan etika yang berasal dari nilai-nilai teoritis murni, lebih tepat lagi metafisika. Karenanya, dia mengkritik dengan tajam teori idenya Plato, sebuah kritik yang diarahkan untuk menghancurkan gagasan etika yang bersumber pada metafisika atau agama, karena kebaikan murni mustahil terwujud dalam realitas kehidupan manusia, sementara kebaikan teoritis, sejak semula, harus bersifat praktis.
Sejak Aristoteles menjauhkan landasan metafisika dari filsafat etika, sebagian besar filosof etika hingga era Imanuel Kant mempercayai landasan itu secara taken for granted. Benar bahwa mereka berbeda dengan Aristoteles dalam memahami tujuan, sarana, dan karakter ilmu etika. Tapi, mereka sepakat dalam satu hal, yakni kebaikan manusia terbatas dan tidak absolut. Selain itu, mereka sepakat bahwa metode yang benar (shahih) bagi kajian etika adalah penelitian induktif (dari realitas menuju teori), dan bukan sebaliknya.
Sebelum Aristoteles, “ilmu etika” dengan metode yang berbeda sudah ada. Socrates tidak memisahkan antara etika dan agama (metafisika). Kehidupan etika bagi Socrates, bertumpu pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum Ilahi yang tidak tertulis. Socrates sendiri tidak menumukan adanya kontradiksi apapun antara sendi transcendental ini dengan eksistensi etika yang merupakan ilmu praktis. Hal ini bukan hanya karena Socrates berbicara seakan-akan dibingbing oleh wahyu atau ilham, tapi karena – khususnya pada detik-detik menjelang wafatnya - Dia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. Kekekalan jiwa adalah masalah metafisika atau lebih tepatnya agama. Dalam pengetarnya terhadap terjemahan Etika karya Aristoteles, Palermy Sant Hilaire mengatakan, “… Adanya kehidupan lain menampakkan kepada jiwa adanya keadilan yang dapat mengurai segala kepelikan, dan menerangi jalan, sehingga banyak jiwa yang dapat menelusurinya secara nyaman. Keyakinan Sokrates terhadap adanya keadilan Ilahi dan keimanan kepada Hari Akhir adalah hukum etikanya.
Tak dapat dipungkiri, kekekalan jiwa merupakan masalah penting yang memungkinkan diwujudkannya nilai-nilai etika. Begitu juga keyakinan akan adanya Tuhan. Pengingkaran adanya wujud Tuhan atau sekedar penyangkalan adanya pemeliharaan Tuhan kepada Alam, menurut Plato, akan berakibat rusaknya tatanan sosial.
Berbeda dengan landasan etika modern yang cenderung berpihak pada pandangan Aristoteles saja, maka dalam tulisan ini akan berusaha menggabungkan antara pandangan etika Aristoteles dan Socrates atau Plato.
B. Motode Etika
Metode yang dipergunakan dalam etika adalah metode pendekatan kritis. Etika pada hakekatnya mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran ataupun ideology, melainkan memeriksa, merefleksi, mengevaluasi, dan menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis.
Etika menuntut agar ajaran-ajaran moral tersebut dapat dipelajari dan dihayati oleh setiap manusia, kemudian dapat dilaksanakan dalam kehidupannya secara nyata, dan dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, etika dengan motode pendekatan kritisnya, berusaha untuk menjernihkan persoalan-persoalan moral secara benar dan porposional.
Karena itu, metodologi yang benar dalam mengupas persoalan-persoalan etika haruslah sesuai dengan semangat nilai-nilai kebenaran; yang menyatakan bahwa adanya peralihan dari dasar-dasar keyakinan menuju kaidah-kaidah perbuatan, dan yang menyatakan bahwa agama (keimanan) menentukan perilaku. Karena itulah, pembicaraan keyakinan selalu mendahului pikiran dan perbuatan.
Kewajiban moral tidak mungkin muncul dari pemikiran saja, tapi ia harus diberikan keleluasan pada kehendak dalam pembentukan etika. Etika sendiri pada dimensi prakteknya, bukanlah kumpulan kebijaksanaan, kata-kata mutiara, dan anjuran-anjuran belaka. Kehendak berbuat tak terlepas dari persoalan yang membutuhkan adanya intervensi rasional, sehingga keinginan baik tidak beralih menjadi keburukan.
Persoalan moral tidak cukup hanya berpedoman pada prinsip-prinsip keyakinan (metafisika), ada juga masalah perbuatan yang harus dimasukan dalam kajian ini. Dengan demikian metode kajian etika menjadi sempurna selama kajian tersebut mencakup dimensi teoritis dan praktis di antara keyakinan dan prilaku.
C. Pendekatan Pembinaan Etika
Pendekatan yang akan dipergunakan dalam penanaman etika, adalah pendekatan yang biasa dipergunakan dalam pendekatan pendidikan nilai. Kenapa demikian? Karena pada esensinya pendidikan nilai dan etika adalah sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia menjadi lebih baik berdasarkan etika dan moralitas, bahkan nilai merupakan bahasan utama dalam etika, maka pendekatannya yang dipergunakannya pun tidak jauh berbeda.
Adapun pendekatan-pendekatan tersebut, seperti disebutkan oleh Superka, ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan Penanaman Nilai (Values Inculcation Approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan akan pentingnya nilai-nilai budi pekerti. Seseorang harus menerima dan meyakini bahwa nilai-nilai tersebut adalah benar. Ada dua tujuan dari pendekatan ini, yaitu: diterimanya nilai-nilai budi pekerti dan berubahnya prilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Metoda yang digunakan dalam pendekatan antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan yang lainnya.
Pendekatan ini telah digunakan secara meluas pada kalangan berbagai masyarakat, terutama dalam penanaman nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Bagi para penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikan harus bertitik tolak dari nilai-nilai tersebut.
2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini disebut Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Depelovment Approach) karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya Pendekatan ini mendorong untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu: Pertama, membantu untuk membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.
Pendekatan perkembangan moral kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey. Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg. Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
a. Tahap "premoral" atau "preconventional"; Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial
b. Tahap "conventional"; Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c. Tahap "autonomous"; Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara. Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias, Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
a. Tahapan "Preconventional"
1. Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
2. Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri denganmemperhatikan juga kepentingan orang lain.
b. Tahapan "Conventional"
1. Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
2. Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
c. Tahapan "Posconventional":
1. Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral.
2. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
3. Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di kampus, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisisnilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan danmerumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut:
a. Langkah analisis nilai:
a. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait.
b. Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
c. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.
d. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
e. Merumuskan keputusan moral sementara.
f. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
b. Tugas penyelesaian masalah:
a. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.
b. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan.
c. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
d. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
e. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara
f. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick. Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan. Pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai moral.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan Klarifikasi Nlai (Vlues Clarification Aproach) memberi enekanan pada usaha untuk membantu dalam mengkaji perasaan dan erbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang ilai-nilai mereka sendiri. ujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka endiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu supaya mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain,
berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, membantu, supaya mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain.
Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki olh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat objektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar elakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, eperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi pnganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Elias, bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru/dosen bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong. Peranan guru/dosen adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
a. Pertama, memilih :
1. Dengan bebas.
2. Dari berbagai alternatif.
3. Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
b. Kedua, menghargai:
4. Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya
5. Mau mengakui pilihannya itu di depan umum
c. Ketiga, bertindak:
6. Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya,
7. Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup.
Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths, telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting sebagai berikut:
a. Tumpuan perhatian diberikanpada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai.
b. Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya.
c. Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, dari pada sekedar menerima.
d. Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut.
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas. Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan menampilkan bias budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Banks, pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini.
Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
Pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias, walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada peserta, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga Negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut:
a. Physical competence (kompetensi fisik), yangdapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya.
b. Interpersonal competence (Kompetensi hubungan antarpribadi), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain.
c. Civic competence (kompetensi kewarganegaraan), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman. Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain.
Kelemahan pendekatan ini menurut Elias sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti. Hal tersebut sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
D. Fungsi Etika
Adapun fungsi pengajaran etika, seperti dijelaskan oleh Suharsono dan Yodi Orbawan (2004), antara lain:
1. Pengembangan, yaitu meningkatkan prilaku manusia dari yang buruk menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih baik, sehingga mendekati kesempurnaan.
2. Penyaluran, yaitu membantu manusia agar menyalurkan potensi-petensi yang dimiliki untuk kebaikan dirinya, orang lain, dan alam semesta.
3. Perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya.
4. Pencegahan, yaitu mencegah manusia agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak harga diri, keluarga, agama, bangsa, dan negara.
5. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, seperti sombong, iri, dengki, riya, dan lainnya, agar manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah manusia, ajaran agama, dan budaya bangsa.
6. Penyaring, yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa, baik bangsa sendiri maupun bangsa lain, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.
E. Tujuan Etika
Ada tujuan yang hendak dicapai dari sebuah pembelajaran, begitu pula dengan pembelajaran etika ini. Tujuan budi pekerti dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Adapun tujuan jangka pendek, yaitu: 1) mengajarkan tentang nilai-nilai etika, 2) mengajak manusia agar mau melaksanakan nilai-nilai etika, dan 3) mendorong manusia agar membiasakan nilai-nilai etika dalam kehidupannya sehari-hari.
Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil). Manusia yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa. Untuk benar-benar menjadi manusia secara utuh dan sempurna, manusia harus mengaktualisasikan dalam dirinya semua kualitas yang terdapat dalam dirinya. Dan semuanya harus digunakan sesuai dengan keseimbangan dan keselarasan normatif.
Rabu, Mei 04, 2011
METODE DAN KEGUNAAN ETIKA
6:30:00 PTG
yusup doank
7 comments
7 komentar:
keren
bagus
salam kenal
tips yang bagus
ok
aku dukung ,,,,,,,,,,,
pOOLyBoOB
thanks, sangat membantu...
Catat Ulasan