Rabu, Mei 04, 2011

TEORI-TEORI ETIKA


Etika memberikan pegangan dan orientasi dalam menjalani aktifitas kehidupan manusia di dunia. Ada arahan, sasaran, dan tujuan dari tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan demikian, timbul pertanyaan bagaimana manusia menentukan arahan, sasaran, dan tujuan dari tindakan yang dilakukannya, sehingga tindakannya tersebut tidak mengarahkan pada keburukan yang berakibat pada kerugian.
Ada dua teori etika untuk menentukan yang baik dan yang buruk, yaitu teori deontologi dan taleologi. Kedua teori ini dapat memberi arahan, sasaran, dan tujuan dari tindakan yang dilakukan oleh manusia.

A. Deontology
Istilah deontology berasal dari bahasa Yunani, deon dan logos. Deon berarti tanggungjawab moral, sesuatu yang mengikat secara moral, benar secara moral, kewajiban, imperatif (penting sekali, tidak boleh tidak), dan keharusan. Logos berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan demikian, deontologi adalah kajian tentang alasan-alasan yang mendasari sesuatu atau ilmu tentang kajian konsep tugas duty (kewajiban, tanggungjawab, komiten) dan konsep-konsep yang berkaitan.
Teori deontolgy ini dapat dirumuskan dalam dua hal, dan kedua hal tersebut saling berkaitan, yaitu:
1. Kebenaran atau kesalahan sebuah perbuatan moral ditentukan, paling tidak sebagiannya, dengan merujuk pada aturan-aturan perilaku formal, bukannya pada konsekuensi atau hasil-hasil dari sebuah tindakan.
2. Beberapa perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan ini adalah wajib (memaksa, diperintahkan, dan harus) tanpa memandang akibat-akibatnya..
Dengan demikian, benar salahnya satu tindakan tidak dapat ditentukan oleh akibat tindakan tersebut melainkan oleh ketentuan yang begitu saja diperintahkan atau begitu saja terlarang. Untuk mengetahui apakah mahasiswa boleh mencontek dalam ujian, tanpa bertanya lebih dahulu kepada dosen, mahasiswa menyadari bahwa mencontok merupakan perbuatan dilarang, jadi pasti tidak boleh.
Darimana manusia mengetahui tentang apa saja yang diperintahkan atau terlarang? Dalam teologi Asy’ari, manusia tidak begitu saja mengetahui kedua hal tersebut, kecuali melalui bimbingan wahyu Tuhan yang disampaikan oleh para utusan-Nya. Akal manusia berperan dapat membedakannya setelah ada bimbingan wahyu tersebut.
Bagi Immanuel Kant (1724-1804), kemampuan untuk menentukan yang benar (yang diperintahkan) dan salah (yang terlarang) tersebut merupakan bawaan manusia dari lahir”. Dalam formalistic ethics, Immanuel Kant, ketentuan yang mewajibkan atau melarangnya, adalah aturan-aturan etika universal. Pilihan-pilihan (tindakan, perilaku) moral yang benar dapat dilakukan menurut berbagai motif dan standar seperti kebijaksanaan, simpati, kebaikan, kasih sayang, cinta, kehangatan, dan lainnya. Jika saya menginginkan ini, maka saya harus melakukan ini dan itu. Tetapi motif dan standar tertinggi haruslah rasa tanggungjawab, ketundukan tanpa syarat terhadap hukum moral yang universal dan tak pandang bulu.
Aturan-aturan etika universal tersebut diperoleh melalui intuisi. Dalam intuitive ethics dijelaskan bahwa aturan-aturan etika universal tersebut memiliki beberapa kriteria, yaitu: 1) Diberikan dan dapat dipahami oleh setiap manusia, apapun latar belakangnya, karena ia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir. 2) Nyata secara obyektif; tindakan-tindakan manusia tertentu diketahui secara langsung, dan terbukti diri benar atau salah, baik atau buruk secara intrinsik, 3) Wajib secara universal; prinsip-prinsip atau aturan-atauran moral universal tersebut mengikat bagi semua manusia, sehingga ketika ada individu yang melanggarnya, maka dia akan merasa tidak nyaman dan bersalah.
Menurut Kant, kebaikan yang sesungguhnya adalah kehendak (niat, motivasi) yang baik, sedangkan yang lainnya merupakan kebaikan yang terbatas dan bersyarat. Yang membuat kehendak menjadi baik adalah bertindak karena kewajiban (disebut kewajiban moral atau hukum moral). Dengan demikian, maka perbuatan tersebut bersifat moral. Sedangkan perbuatan yang dilakukan karena sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang berlaku (norma hukum, legalitas) baru disebut moralitas (bukan bersifat moral).
Kant membedakan dua imperative, yaitu bersifat imperatif katagoris dan imperatif historis. Kewajiban moral mengandung imperatif katagoris, yaitu perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Misalnya: janji harus ditepati (senang atau tidak senang), barang yng dipinjam harus dikembalikan (walaupun pemiliknya sudah lupa), dan yang lainnya. Tingahlaku manusia hanya dibimbing oleh kewajiban moral, bukan oleh pertimbangan-petimbangan lain. Sedangkan sebaliknya, imperatif hipotesis, adalah perintah mewajibkan yang diikuti oleh persyaratan. Bentuknya adalah: “Kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus memenuhi juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”. Kalau engkau kuliah dengan tujuan ingin mendapatkan ilmu dan ijazah, maka engkau harus memenuh juga sarana-sarana untuk mendapatkan ilmu dan ijazah, sedangkan kalau engkau kuliah dengan tujuan ingin dapat teman, engkau hanya memeuhi sarana untuk mendapatkan teman tersebut.
Karena kewajiban moral harus dipahami sebagai imperative katagoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heterenom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor luar, seperti kecenderungan dan emosi, Biarkan manusia menjadi legislator moral bagi dirinya sendiri, sehingga dia tidak menyerahkan diri pada sesuatu yang asing baginya (heteronom). Dalam tingkahlaku moralnya, manusia tidak menaklukan dirinya pada instansi lain, melainkan hanya kepada hukum moralnya sendiri.
Sementara itu, William David Ross (1877-1971) menambahkan sebuah nuansa penting dalam teori deontologi, yaitu “kewajiban itu selalu sebgai kewajiban (prima facie (pada pandangan pertama), artinya suatu kewajiban – untuk – sementara, dan hanya berlaku sampai dating kewajiban yang lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama. Dia menyusun daftar kewajiban prima facie,yaitu: 1) kewajiban kesetian, 2) kewajiban ganti rugi, 3) kewajiban terima kasih, 4) kewajiban keadilan, 5) kewajiban berbuat baik, 6) kewajibanmengembangkan diri, 7) kewajiban untuk tidak merugikan. Semua itu merupakan kewajiban, kita herus membuat skala prioritas, mana yang lebih dahulu.

B. Teleology
Istilah teleology berasal dari bahasa Yunani, telos dan logos. Telos berarti akhir, tujuan, dan keadaan utuh. Logos berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan demikian, teleology adalah kajian tentang fenomena yang menampakan keteraturan, desain, tujuan, akhir, cita-cita, tendensi, sasaran, dan arah, serta bagaimana semua itu dicapai dalam sebuah proses perkembangan.
Teori teleology ini menyatakan bahwa: 1) konsekuensi-konsekuensi tentang perbuatan moral menentukan manfaat dan ketepatan perbuatan tersebut. Seseorang mungkin memiliki niat-niat baik, atau mengikuti prinsip-prinsip moral yang tertinggi. Tetapi jika hasil sebuah tindakan itu berbahaya atau jelek, maka dinilai sebagai perbuatan yang salah secara moral atau etika. 2) Sebuah etika dimana manfaat moral dari sebuah tindakan dinilai dalam pengertian sejauh mana tindakan tersebut mencapai tujuan atau sasarannya (atau tujuan atau sasaran dari system etika yang diikuti). 3) Sebuah etika yang di dalamnya kebenaran atau kesalahan sesuatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang sesuai dengan keiginan dan baik. Apapun yang dicapai sebagai hasil akhirnya dipadang baik secara moral. Sedangkan apapun yang menghalangi pencapaiannya adalah jelek secara moral.

1. Hedonisme
Kata hedone, bahasa Yunani, yang berarti kenikmatan, enak, dan menyenangkan. Dengan demikian hedonisme merupakan faham atau teori etika yang lebih mengutamakan kenikmatan, atau yang baik itu apabila dapat memberikan kenikmatan, bahkan tujuan hidup manusia adalah mencari dan mengejar kenikmatan.
Secara nyata para penganjur teori hedonisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan kehidupan adalah kenikmatan. Teori tersebut dinyatakan dalam beberapa hal:
a. Kenikmatan adalah kebaikan tertinggi.
b. Kenikmatan adalah kebaikan intrinsik.
c. Kenikmatan harus dicari.
d. Kebaikan ditentukan oleh kemampuan sejauh mana mampu memberikan kenikmatan.
Ide awal hedonisme berawal sejak zaman Aristippus (435-386 SM), salah seorang murid Socrates. Dia percaya bahwa tujuan hidup adalah meraih kenikmatan indrawi setinggi mungkin. Kebaikan yang tertinggi adalah kenikmatan, dan kejahatan tertinggi adalah penderitaan. Dia mengembangkan suatu cara hidup yang tujuannya adalah menghindari penderitaan dalam segala bentuknya.
Dia mendasarkan etikanya pada pengejaran kenikmatan terdekat yang diperoleh lewat pengontrolan rasio dan kebijaksanaan, serta berusaha untuk menghindari kesengsaraan. Kenikmatan terdekat yang dimaksudkan di sini bersifat badani, aktual, dan individual. Sedangkan pengontrolan ratio dan kebijaksanaan berarti bahwa dalam mengejar nikmat perlu pengendalian diri, tetapi pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Tugas seorang bijak bukan untuk dikuasai oleh kenikmatan, melainkan untuk menguasai kenikmatan tersebut. Yang terpenting, bagaimana mempergunakan kenikmatan tersebut dengan penuh tanggungjawab, bukannnya membiarkin diri dikuasai oleh nikmat tersebut.
Kemudian Epicuros (341-271 SM) melanjutkan aliran tersebut. Dia berusaha untuk menggabungkan etika kenikmatan Aristippus dengan teori atom Democritus. Epikuras menekankan bahwa hasil-hasil yang menyenangkan dari suatu tindakan harus selalu mempertimbangkan efek samping yang mungkin ditimbulkannya. Epicuros juga percaya bahwa hasil yang menyenangkan dalam jangka pendek harus ditahan demi kemungkinan timbulnya kenikmatan yang lebih besar, lebih kekal, atau lebih hebat dalam jangka panjang.
Namun, Epicuras menekankan bahwa “kenikmatan” tidak semata-mata kenikmatan indrawi, tetapi juga kenikmatan lainnya, seperti nilai-nilai persahabatan, penghargaan terhadap seni, juga masuk di sini. Lagi pula, untuk menikmati hidup menurut cita-cita Yunani kuno diperlukan kontrl diri, kesederhanaan, dan ketulusan. Nafsu harus dikekang dan ketentraman hati akan membantu kita menahan penderitaan.
Konon kaum Epikurian hidup di taman, karena itu mereka dikenal sebagai para filosof taman. Di atas pintu taman bergantung sebuah tulisan, “Orang asing, di sini kalian akan hidup senang. Di sini kenikmatan adalah kebaikan tertinggi”. Rasa takut kepada para dewa medorong orang-orang masuk ke taman Epicuras. Dalam kaitan ini teori atom Democritos merupakan obat yang berguna bagi takhayul keagamaan. Untuk menjalani kehidupan yang baik bukannya tidak harus mengatasi rasa takut akan kematian. Untuk tujuan ini Epicuros memanfaatkan teori Democritus tentang “atom jiwa”. Democritus percaya tidak ada kehidupan setelah kematian, sebab ketika kita mati, “atom-atom jiwa” menyebar ke semua penjuru. Kata Epicuros, “Kematian tidak menakutkan kita, sebab selama kita ada, kematian tidak bersama kita, dan ketika ia dating, kita tidak ada lagi”..

2. Eudaimonisme
Kata eudaimonia ini berasal dari bahasa Yunani, eu berarti baik, bagus, dan daimon berarti ruh, dewa, kekuatan batin, jenius. Teori etika ini yang mengutamakan kebahagian dan kesejahteraan spritual.
Kebahagian terletak dalam mencapai kesempurnaan, yaitu mengembangkan dan membulatkan semua bakat yang dimiliki manusia. Aristoteles menyebutkan tiga hal yang dapat membawa kebahagiaan, yaitu: hidup mencari nikmat, hidup berpolitik, dan hidup berfilsafat.
Teori ini pertama kali diutarakan oleh Aristoteles (384-322 SM). Dia memulai dengan menyatakan bahwa setiap tindakan manusia mempunyai tujuan. Tujuan ada dua macam, yaitu tujuan yang dicari demi tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Apa yang dicari demi dirinya sendiri hanyalah kebahagiaan. Maka kaidah dasar etikanya dapat dirumuskan: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan, yaitu dalam mengembangkan dan membulatkan semua bakat yang dimiliki oleh manusia.
Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan tertinggi (tujuan terakhir) adalah kebahagiaan. Kebahagian seperti apa? Ada yang menyatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan Ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan, dan ada pula yang menyatakan bahwa status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan misalnya, hanya bisa dijadikan sarana untuk mencapai tujuan yang lain.
Oleh karena, secara umum Aristoteles membagi kebahagian menjadi tiga bentuk kebahagiaan, yaitu:
1. Hidup mencari nikmat; Hidup ini justru tidak akan membawa manusia pada kebahagiaan, tanpa adanya kenikmtan, tetapi kenikmatan tidak bisa mengembangkan manusia sebagai manusia yang berakal budi. Nikmat itu menurut Aristoteles tidak jelek, tapi jangan dijadikan tujuan kegiatan manusia.
2. Hidup berpolitik; Manusia adalah zoon politicon (makhluk yang bermasyarakat), dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya Maka kegiatan politik (hidup bermasyarakat) itulah yang paling sesuai dengan manusia. Dan dengan itu manusia akan berbahagia.
3. Hidup berfilsafat; Hidup berfilsafat merupakan aktifitas manusia yang paling luhur, karena aktivitas ini melibatkan logos (akal budi) manusia yang bersifat keilahian. Sehingga hidup berfilsafat akan membawa kebahagian pada manusia.
Menurut Aristoteles, seseorang dapat mencapai tujuan terakhir apabila dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Tujuan terakhir pemain musik adalah memainkan musiknya dengan baik, tujuan terakhir dokter adalah mengobati pasiennya dengan baik, dan tujuan terakhir guru/dosen adalah mengajari mahasiswanya dengan baik. Jika manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai manusia dengan baik, dia juga akan dapat mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apa tugas khusus manusia yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain? Aristoteles menjawab, “akal budi atau ratio”. Karena itu manusia dapat mencapai kebahagiaan ketika dia beraktifitas berdasarkan pertimbangan rasionalnya. Dan tidak cukup dia melakukan hal tersebut beberapa kali saja, tetapi harus menjadi suatu sikap yang tetap. Hal ini berarti bahwa aktivitas rasional tersebut harus dijalankan dengan keutamaan. Bagi Aristoteles, ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung ratio itu sendiri, sedangkan keutamaan moral, sepert keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh ratio.

3. Utilitarisme
Kata utilitarisme berasal dari bahasa Latin, utilis, yang berarti kegunaan atau kemanfaatan. Teori ini menyatakan bahwa yang baik itu ditentukan oleh utilitas dalam memberikan kebahagiaan atau kesenangan bagi banyak orang. Dengan demikian suatu bentuk konsekuensialisme, yang berarti bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan oleh hasilnya. Utilitarianisme sering digambarkan oleh ungkapan "terbesar baik untuk jumlah orang terbesar" dan juga dikenal sebagai “prinsip kebahagian terbesar”. Utilitas, yang baik untuk dimaksimalkan, telah didefinisikan oleh berbagai pemikir sebagai kebahagiaan atau kesenangan (versus penderitaan atau rasa sakit), walaupun preferensi utilitarianisme mendefinisikannya sebagai kepuasan preferensi. Ini mungkin digambarkan sebagai sikap hidup, dengan kebahagiaan atau kesenangan keberadaan teramat penting.
Secara garis besar teori ini dapat dirumuskan sebagai berkut:
a. Kita harus mencapai kesenangan (kebahagian) terbesar untuk orang terbanyak.
b. Kenikmatan merupakan satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan satu-satunya kejahatan intrinsik.
c. Sebuah tindakan secara moral baik apabila memberikan keseimbangan dan menghasilkan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi dunia.
d. Kebaikan dan kejahatan dilihat juga konsekuensi-konsekkuensinya.
Teori ini berasal dari seorang filsosof Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), utlitarisme awalnya dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Bentham menjelaskan bahwa kesenangan dan ketidaksenangan merupakan dua nilai intrinsik di dunia; “Alam telah menempatkan manusia di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat, kesenangan dan kesusahan". Secara kodrati manusia selalu mencari kesenangan dan menghindari kesusahan. Kebahagiaan akan tercapai apabila memiliki kesenangan dan terhindar dari kesusahan. Dia sebenarnya melanjutkan teori hedonisme klasik (Aristippus dan Epicuros).
Dari sini, dia menemukan kekuasaan utilitas, yang baik adalah apapun yang dapat membawa kebahagiaan bagi orang sebanyak mungkin. Dan yang buruk adalah apapun yang dapat membawa kesusahan bagi orang sebanyak mungkin. Pandangan Bentham tersebut merupakan peralihan dari hedonisme klasik yang bersifat individualis dan egoistis menuju hedonisme universalis. Bentham menekankan bahwa moralitas suatu tindakan herus ditentukan dengan menimbang kegunaannya bagi seluruh umat manusia. Secara singkat the principle of utility adalah: “the greatest happiness of the gretest number”, “kebahagiaan terbesar bagi orang banyak”.
Bentham adalah pendukung terkemuka James Mill, seorang filsuf besar pada zamannya dan ayah dari John Stuart Mill (1806-1873). Seperti rumusan Bentham, utilitarianisme Mill berkaitan dengan kesenangan dan kebahagiaan. Namun John Stuart Mill membuat perbedaan yang jelas antara kebahagiaan dan kesenangan, yaitu:
Pertama, dia mengkritik pandangan Bentham yang mengukur kesenangan dan kebahagiaan secara kuantitatif. Baginya kualitas perlu dipertimbangkan juga. Dia berpendapat bahwa budaya, intelektual, dan spiritual merupakan kesenangan yang nilainya lebih tinggi daripada sekadar kesenangan fisik. Karena efek yang pertama jauh lebih besar daripada yang terakhir. Ada sebuah ungkapan populer yang ditemukan dalam utilitarismenya, "Menjadi seorang manusia yang tidak puas jauh lebih baik daripada menjadi seekor babi yang puas. Lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas, daripada menjadi seorang bodoh yang puas"(wikipedia). Ungkapan tersebut dijadikan untuk menunjukkan kualitas seatu kesenangan. Sedangkan kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu dengan berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal itu. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang kualitas kebahagiaan.
Kedua, kebahagiaan yang menjadi norma etis menurutnya, adalah kebahagiaan untuk semua orang. Penguasa dan rakyat biasa harus diperlakukan secara sama. Kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting dari kebahagiaan orang lain. Menurut Mill, “Every body to count for one, nobody to count for more than one”.
Dengan demikian, utilitarisme menetapkan bahwa suatu perbuatan dinilai baik, apabila kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan baik itu secara kualitatif maupun kualitatif, dan kebahagiaan semua orang yang terlibat di dalamnya dihitung dengan cara yang sama pula.

C. Sintesis Deontologis danTeleologis
Dalam penerapan etika pada zaman ini, baik itu pada kalangan masyarakat umum, maupun kalangan profesi/pekerja, tidak bisa mengacu kepada salah satu teori, yaitu teori deotolgis atau teleologis, tetapi harus menggabungkan kedua teori tersebut.
Tampak bahwa teori teori teleologis membutuhkan teori nilai, yaitu suatu teori tentang apa yang baik dan apa yang buruk bagi manusia. Adapun teori deontologis tidak membutuhkannya karena mengukur tindakan tersebut tidak pada akibat baik atau buruknya.
Teori deontologis, kelemahannya terletak pada sifat mengharuskannya yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu kaidah ini akan menghilangkan keluwesan dalammenghadapi perubahan situasi dan kondisi. Ekstrimnya, telah mendidik manusia bersikap fanatisme buta. Sebagai contoh:
1. “Jangan membunuh orang”! Bagaimana kalau orang tersebut telah telah membunuh banyak orang. Situasinya hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh?
2. “Jangan mencuri”!. Bagaimana kalau orang tersebut tidak punya apa-apa lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
3. “Jangan melacur”! bagaimana kalau seorang janda tidak punya kerjaan banyak anak, sudah cari kerja kemana-mana tapi tidak dapat?
Sedangkan kelemahan teori teleologis terletak pada beberapa hal, yang apabila dibiarkan akan menyebabkan manusia bisa menghalalkan segala cara. Adapun kelemahannya. yaitu:
1. Menghilangkan dasar yang membawa kepastian, seperti alternatif baru yang menguntungkan (akibatnya) dapat diakui sebagai norma.
2. Tidak mempunyai ketegasan. Aturan bisa dirubah bahkan dilanggar apabila memiliki tujuan baik.
3. Mudah terjebak pada kaidah menghalalkan segala cara
Misalnya: membunuh, memperkosa, merampok, atau perbuatan jahat lainnya dapat dibenarkan apabila tujuannya baik.
Jadi, antara teori deontologis dan teleologis saling dapat mengisi kelemahan masing-masing. Situasi khusus dan teori teleologis, dapat dijadikan dasar pertimbangan, interpretasi dari deontologis. Sebaliknya, kekhasan deontologis dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam menanggapi realitas dapat ditemui.

2 komentar:

Unknown berkata...

terima kasih ka kebantu banget sama artikel kaka

Fidi berkata...

terimakasih.

Catat Ulasan

 
Design by yusup doank | Bloggerized by yusup doank juga | coupon codes